PENDAHULUAN
Masa
nifas (puerperium) dimulai setelah plasenta lahir dan berakhir ketika alat-
alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas berlangsung
selama kira- kira 6 minggu. (Saifuddin,2010;N23)
Periode
pascapartum adalah masa dari kelahiran plasenta dan selaput janin (menandakan
akhir periode intrapartum) hingga kembalinya traktus reproduksi ibu pada
kondisi tidak hamil. (Varney,2007;958)
Selama masa nifas berlangsung, dapat terjadi banyak
komplikasi. Komplikasi yang sering muncul antara lain: perdarahan pasca persalinan/ hemoragia pasca partum (HPP), infeksi masa nifas, tromboemboli, dan depresi pasca persalinan.
A.
HEMORAGI PASCAPARTUM
1.
Hemoragia pasca partum primer
-
Ialah perdarahan berat dari saluran genetalia
sejak selesainya kala III persalinan sampai 24 jam setelah kelahiran. (Medforth,
2012: 472)
-
Ialah perdarahan yangmelebihi 500 cc
setelah bayi lahir yang mana perdarahan masih berasal dari tempat implantasi
plasenta robekan jalan lahir dan jaringan sekitarnya. (
Sarwono, 2008: 521).
-
Etiologi
:
a.
Atonia
uteri dan
b.
Sisa
plasenta ( 80%)
c.
Laserasi
jalan lahir (20% )
d.
Gangguan
faal pembekuan darah pasca solusio plasenta
-
Faktor
resiko :
a.
Partus
lama
b.
Overdistensi
uterus ( hidramnion , kehamilan kembar, makrosomia )
c.
Perdarahan
antepartum
d.
Pasca
induksi oksitosin atau MgSO4
e.
Korioamnionitis
f.
Mioma uteri
g.
Anesthesia
-
Diagnosis
:
a.
Jumlah
perdarahan pasca persalinan yang sesunguhnya sulit ditentukan oleh karena
sering bercampur dengan cairan amnion, tercecer, diserap bersama dengan kain
dan lain sebagainya.
b.
Perdarahan
pervaginam yang profuse dapat terjadi sebelum plasenta lahir atau segera
setelah ekspulsi plasenta.
c.
Perdarahan
dapat terjadi secara profus dalam waktu singkat atau sedikit sedikit diselingi
dengan kontraksi uterus.
-
Penatalaksanaan
:
a. Perdarahan kala III ( plasenta belum lahir )
· Masase fundus uterus untuk memicu kontraksi uterus
disertai dengan tarikan talipusat terkendali. Bila perdarahan terus terjadi
meskipun uterus telah berkontraksi dengan baik, periksa kemungkinan laserasi
jalan lahir atau ruptura uteri
· Bila plasenta belum dapat dilahirkan , lakukan
plasenta manual
·
Bila
setelah dilahirkan terlihat tidak lengkap maka harus dilakukan eksplorasi cavum uteri atau
kuretase
b. Perdarahan pasca
persalinan primer ( true HPP )
1. Periksa apakah plasenta lengkap
2. Masase fundus uteri
3. Pasang infuse RL dan berikan uterotonik ( oksitosin ,
methergin atau misoprostol )
4. Bila perdarahan > 1 L pertimbangkan tranfusi
5. Periksa faktor pembekuan darah
6. Bila kontraksi uterus baik dan perdarahan terus
terjadi , periksa kembali kemungkinan adanya laserasi jalan lahir
7. Bila perdarahan terus berlangsung ,
lakukan kompresi bimanual
8. Bila perdarahan terus berlangsung ,
pertimbangkan ligasi arteri hipogastrika
2.
Perdarahan
pasca persalinan sekunder
-
Perdarahan hebat dari saluran genetalia
yang terjadi setelah 24 jam pertama sampai 6 minggu setelah kelahiran. (Medforth,
2012: 474)
-
Perdarahan kala nifas sekunder adalah
perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pertama. Kejadiannya tidak terlalu
besar, apalagi dengan makin gencarnya penerimaan geraka keluarga berencana.
Penyebab utama perdarahan nifas sekunder adalah terdapatnya sisa plasenta atau
selaput ketuban (pada grandemultipara dan kelainan bentuk implantasi plasenta),
infeksi pada endometrium, dan sebgaian kecil terjadi dalam bentuk mioma uteri
bersamaan dengan kehamilan den inversio uteri. (Manuaba, 2010:507-511)
-
Hemoragi pascapartum lambat adalah
hemoragi yang terjadi setelah 24 jam pertama pascapartum. Penyebab umumnya
meliputi:
-
Subinvolusi ditempat perlekatan plasenta
-
Fragmen plasenta atau membran janin yang
tertinggal
-
Laserasi saluran reproduksi yang
sebelumnya tidak terdiagnosis
-
Hematoma (varney,
2006)
-
Gejala klinis perdarahan kala nifas
sekunder adalah terjadi perdarahan berkepanjangan melampaui patrun pengeluaran
lokia normal, terjadi perdarahan yang cukup banyak, dan dapat disertai rasa
nyeri didaerah uterus. Menghadapi keadaan demikian sebaiknya bidan
berkonsultasi pada dokter sehingga pelayanan medis terhadap masyarakat lebih
baik dan bermutu. (Manuaba, 2010:507-511)
-
Menurut Saifudin (2008; 75) Untuk
memperkirakan kemungkinan penyebab perdarahan pasca persalinan sehingga
pengelolaannya tepat, perlu dibenahi gejala dan tanda sebagai berikut :
Gejala dan tanda
|
Penyulit
|
Diagnosa penyebab
|
·
Uterus tidak berkontraksi dan lembek
·
Perdarahan segera setelah bayi lahir
|
·
Syok
·
Bekuan darah pada serviks atau pada posisi
terlentang akan menghambat aliran darah keluar
|
·
Atonia uteri
|
·
Darah segar mengalir segera setelah anak lahir
·
Uterus berkontraksi dan keras
·
Plasenta lengkap
|
·
Pucat
·
Lemah
·
Mengigil
|
·
Robekan jalan lahir
|
·
Plasenta belum lahir setelah 30 menit
·
Perdarahan segera, uterus berkontraksi dan
keras
|
·
Tali pusat putus
·
Inversio uteri
·
Perdarahan lanjutan
|
·
Retensio plasenta
|
·
Plasenta atau sebagian selaput tidak lengkap
·
Perdarahan segera
|
·
Uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus uteri
tidak berkurang
|
·
Tertinggalnya sebagian plasenta
|
·
Uterus tidak teraba
·
Lumen vagina terisi massa
|
·
Neurogenik syok, pucat dan limbung
|
·
Inversio uteri
|
-
Terapi
awal :
1.
Memasang
cairan infuse dan
2.
Memberikan
uterotonika (methergin 0.5 mg intramuskular)
3.
Antipiretika
dan Antibiotika (bila ada tanda infeksi)
4.
Kuretase
hanya dilakukan bila ada sisa konsepsi
-
Penatalaksanaan
a.
Penatalaksanaan umum
a.
Ketahui secara pasti kondisi ibu bersalin sejak awal
b.
Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih
dan aman
c.
Selalu siapkan keperluan tindakan gawat darurat
d.
Segera lakukan penilaian klinik dan upaya pertolongan
apabila dihadapkan dengan masalah dan komplikasi
e.
Atasi syok jika terjadi syok
f.
Pastikan kontraksi berlangsung baik ( keluarkan bekuan
darah, lakukan pijatan uterus, beri uterotonika 10 IV dilanjutkan infus 20 ml
dalam 500 cc NS/RL dengan tetesan 40 tetes/menit ).
g.
Pastikan plasenta telah lahir lengkap dan eksplorasi
kemungkinan robekan jalan lahir
h.
Bila perdarahan tidak berlangsung, lakukan uji bekuan
darah.
i.
Pasang kateter tetap dan pantau cairan keluar masuk
j.
Lakukan observasi ketat pada 2 jam pertama paska
persalinan dan lanjutkan pemantauan terjadwal hingga 4 jam berikutnya.
b. Penatalaksanaan
khusus
a. Atonia
uteri
v Kenali
dan tegakan kerja atonia uteri
v Sambil
melakukan pemasangan infus dan pemberian uterotonika, lakukan pengurutan uterus
v Pastikan
plasenta lahir lengkap dan tidak ada laserasi jalan lahir
v Lakukan
tindakan spesifik yang diperlukan :
v Kompresi
bimanual eksternal yaitu menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan
saling mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uteus. Bila perdarahan
berkurang kompresi diteruskan, pertahankan hingga uterus dapat kembali
berkontraksi atau dibawa ke fasilitas
kesehatan rujukan.
v Kompresi
bimanual internal yaitu uterus ditekan diantara telapak tangan pada dinding
abdomen dan tinju tangan dalam vagina untuk menjempit pembuluh darah didalam
miometrium.
v Kompresi
aorta abdominalis yaitu raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri,
pertahankan posisi tersebut genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah
umbilikus, tegak lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis,
penekanan yang tepat akan menghetikan atau mengurangi, denyut arteri femoralis.
b. Retensio
plasenta dengan separasi parsial
v
Tentukan jenis retensio yang terjadi karena
berkaitan dengan tindakan yang akan diambil.
v
Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk
mengejan, bila ekspulsi tidak terjadi cobakan traksi terkontrol tali pusat.
v
Pasang infus oksitosin 20 unit/500 cc NS atau RL
dengan tetesan 40/menit, bila perlu kombinasikan dengan misoprostol 400mg per
rektal.
v
Bila traksi terkontrol gagal melahirkan
plasenta, lakukan manual plasenta secara hati-hati dan halus.
v
Restorasi cairan untuk mengatasi hipovolemia.
v
Lakukan transfusi darah bila diperlukan.
v
Berikan antibiotik profilaksis ( ampicilin 2 gr
IV/oral + metronidazole 1 g supp/oral ).
c. Plasenta
inkarserata
v
Tentukan diagnosis kerja
v
Siapkan peralatan dan bahan untuk menghilangkan
kontriksi serviks yang kuat, tetapi siapkan infus fluothane atau eter untuk
menghilangkan kontriksi serviks yang kuat, tetapi siapkan infus oksitosin 20
Untuk500 NS atau RL untuk mengantisipasi gangguan kontraksi uterus yang mungkin
timbul.
v
Bila bahan anestesi tidak tersedia, lakukan
manuver sekrup untuk melahirkan plasenta.
v
Pasang spekulum Sims sehingga ostium dan
sebagian plasenta tampak jelas.
v
Jepit porsio dengan klem ovum pada jam 12, 4 dan
8 dan lepaskan spekulum
v
Tarik ketiga klem ovum agar ostium, tali pusat
dan plasenta tampak jelas.
v
Tarik tali pusat ke lateral sehingga menampakkan
plasenta disisi berlawanan agar dapat dijepit sebanyak mungkin, minta asisten
untuk memegang klem tersebut.
v
Lakukan hal yang sama pada plasenta kontra
lateral
v
Satukan kedua klem tersebut, kemudian sambil
diputar searah jarum jam tarik plasenta keluar perlahan-lahan.
d. Ruptur
uteri
v
Berikan segera cairan isotonik ( RL/NS) 500 cc
dalam 15-20 menit dan siapkan laparatomi
v
Lakukan laparatomi untuk melahirkan anak dan
plasenta, fasilitas pelayanan kesehatan dasar harus merujuk pasien ke rumah
sakit rujukan
v
Bila konservasi uterus masih diperlukan dan
kondisi jaringan memungkinkan, lakukan operasi uterus
v
Bila luka mengalami nekrosis yang luas dan
kondisi pasien mengkwatirkan lakukan histerektomi
v
Lakukan bilasan peritonial dan pasang drain dari
cavum abdomen
v
Antibiotik dan serum anti tetanus, bila ada
tanda-tanda infeksi.
e. Sisa
plasenta
v
Penemuan secara dini, dengan memeriksa
kelengkapan plasenta setelah dilahirkan
v
Berikan antibiotika karena kemungkinan ada
endometriosis
v
Lakukan eksplorasi digital/bila serviks terbuka
dan mengeluarkan bekuan darah atau jaringan, bila serviks hanya dapat dilalui
oleh instrument, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan dilatasi dan kuret.
v
Hb 8 gr%
berikan transfusi atau berikan sulfat ferosus 600mg/hari selama 10 hari.
f. Ruptur
peritonium dan robekan dinding vagina
v
Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi
laserasi dan sumber perdarahan
v
Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi
larutan antiseptik
v
Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan
kemudian ikat dengan benang yang dapat diserap
v
Lakukan penjahitan luka dari bagian yang paling
distal
v
Khusus pada ruptur perineum komplit dilakukan
penjahitan lapis demi lapis dengan bantuan busi pada rektum, sebagai berikut :
v
Setelah prosedur aseptik- antiseptik, pasang
busi rektum hingga ujung robekan
v
Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan
jahitan dan simpul sub mukosa, menggunakan benang polyglikolik No 2/0 (
deton/vierge ) hingga ke sfinter ani, jepit kedua sfinter ani dengan klem dan
jahit dengan benang no 2/0.
v
Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum
dan sub mukosa dengan benang yang sama ( atau kromik 2/0 ) secara jelujur.
v
Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara
sub mukosa dan sub kutikuler
v
Berikan antibiotik profilaksis. Jika luka kotor
berikan antibiotika untuk terapi.
g. Robekan
serviks
v
Sering terjadi pada sisi lateral, karena serviks
yang terjulur akan mengalami robekan pada posisi spina ishiadika tertekan oleh
kepala bayi.
v
Bila kontraksi uterus baik, plasenta lahir
lengkap, tetapi terjadi perdarahan banyak maka segera lihat bagian lateral
bawah kiri dan kanan porsio
v
Jepitan klem ovum pada kedua sisi porsio yang
robek sehingga perdarahan dapat segera di hentikan, jika setelah eksploitasi
lanjutkan tidak dijumpai robekan lain, lakukan penjahitan, jahitan dimulai dari
ujung atas robekan kemudian kearah luar sehingga semua robekan dapat dijahit
v
Setelah tindakan periksa tanda vital, kontraksi
uterus, tinggi fundus uteri dan perdarahan paska tindakan
v
Berikan antibiotika profilaksis, kecuali bila
jelas ditemui tanda-tanda infeksi
v
Bila terjadi defisit cairan lakukan restorasi
dan bila kadar Hb dibawah 8 gr% berikan transfusi darah
B. INFEKSI MASA NIFAS
Infeksi Puerperium adalah infeksi bakteri yang
berasal dari saluran reproduksi selama persalinan atau puerperium. Infeksi
tidak lagi bertanggung jawab terhadap tingginya insiden mortalitas seperti
dahulu, saat lebih dikenal dengan demam nifas. Akan tetapi, infeksi puerperium
masih bertanggung jawab terhadap presentase signifikan morbiditas puerperium.
-
Penyebab
Predisposisi
Situasi
berikut merupakan predisposisi infeeksi peuerperium pada wanita:
1. Persalinan
lama, khususnya dengan pecah ketuban
2. Pecah
ketuban yang lama sebelum persalinan
3. Bermacam-macam
pemeriksaan vagina selama persalinan, khususnya pecah ketuban
4. Teknik
aseptik tidak sempurna
5. Tidak
memperhatikan teknik cuci tangan
6. Manipulasi
intrauteri (mis., eksplorasi uteri, pengeluaran plasenta manual)
7. Trauma
jaringan yang luas atau luka terbuka, seperti laserasi yang tidak diperbaiki
8. Hematoma
9. Hemoragi,
khususnya jika kehilangan darah lebih dari 1000 mL
10. Pelahiran
Operatif, terutama pelahiran melalui seksio sesaria
11. Retensi
sisa plasenta atau membran janin
12. Perawatan
perineum tidak memadai
13. Infeksi
vagina/serviks atau penyakit menular seksual yang tidak ditangani (mis.,
vaginosis bakteri, klamidia, gonorea)
-
Organisme
Infeksius
Organisme
pada infeksi puerperium berasal dari tiga sumber:
1. Organisme
yang normalnya berada dalam saluran genitalia bawah atau dalam usus besar
2. Infeksi
saluran genitalia bawah
3. Bakteri
dalam fasonaring atau pada tangan personel yang menangani persalinan atau di
udara dan debu lingkungan
Bakteri dari sumber infeksi pertama
adalah bakteri endogen dan menjadi patogen hanya jika terdapat kerusakan
jaringan atau jika terdaat kontaminasi saluran genitalia dari usus besar.
Wanita sebaiknya secara rutin menjalani penapisan terhadap infeksi saluran
genitalia bawah dan segera ditangani secara pranatal. Sumber infeksi ketiga
paling baik dicegah dengan mencuci tangan dan teknik asepsi yang tepat.
Organisme yang umum pada infeksi
puerperium termasuk berbagai spesies Streptococcus
(termasuk S. varidans, S. pyogenes, dan
S. agalactiae), Staphylococcus aureus, Gardnerella
vaginalis, E. Coli, spesies Klebsiella, spesies Proteus, peptostreptococci anaerobik,
spesies Bacteroides, Ureaplasma, dan Mycoplasma. Beberapa organisme ini cukup umum sebagai flora vagina
sehingga hubungannya dengan infeksi tidak jelas. Neisseria gonorrhoeae dan Chlamydia
trachomatis juga dapatg menyebabkan infeksi genitalia pascapartum meskipun
penapisan pranatal akan meminimalkan risiko keberadaanya.
-
Tanda
dan Gejala
Tanda
dan gejala infeksi pada umumnya termasuk peningkatan suhu tubuh, malaise umum,
nyeri, dan lokia berbau tidak sedap. Peningkatan kecepatan nadi dapat terjadi,
teruatam pada infeksi berat. Interpretasi kultur laboratorium dan sensitivitas,
pemeriksaan lebih lanjut, dan penanganan memerlukan diskusi dan kolaborasi
dengan dokter konsultan Anda.
-
Tempat-tempat
Infeksi Puerperium
Meskipun
infeksi pascapartum terbanyak adalah endometritis, yang jauh lebih umum terjadi
setelah pelahiran sesar daripada pelahiran per vagina, adanya laserasi atau
trauma jaringan dalam saluran genitalia dapat menjadi terinfeksi setelah
melahirkan. Juga terdaat penyebaran infeksi, yang berasal dari infeksi lokal
dan menyebar melalui sirkulasi vena atau limfatik, mengakibatkan infeksi
bakteri di tempat yang lebih jauh. Area perluasan infeksi puerperium melalui
selulitis panggul, salpingtis, ooforitis, peritonitis, tromboflebitis panggul
dan/atau femoral, dan bakteremia.
-
Infeksi
Trauma Vulva, Perineum, Vagina, atau Serviks
Tanda dan gejala
infeksi episotomi, laserasi, atau taruma lain meliputi sebagai berikut:
1. Nyeri
lokal
2. Disuria
3. Suhu
derajat-rendah – jarang di atas 38,30C
4. Edema
5. Sisi
jahitan merah dan inflamasi
6. Mengeluarkan
pus atau eksudat berwarna abu-abu kehijauan
7. Pemisah
atau terlepasnya lapisan luka operasi
(Varney,2006)
-
Gambaran
klinis infeksi kala nifas
Infeksi
lokal:
a. Pembengkakan
luka episiotomi
b. Terbentuk
pus
c. Perubahan
warna lokal
d. Pengeluaran
lokia bercampur nanah
e. Mobilisasi
terbatas karena rasa nyeri
f. Temperatur
badan dapat meningkat
Infeksi umum:
a.
Tampak sakit dan lemah
b.
Temperatur meningkat lebih dari 39 oC
c.
Tekanan darah menurun dan nadi meningkat
d.
Pernapasan meningkat dan terasa sesak
e.
Kesadaran gelisah sampai menurun dan
koma
f.
Terjadi gangguan involusi uterus
g.
Lokia berbau dan mengeluarkan pus serta
kotor
Dengan gambaran klinis tersebut bidan
dapat menegakkan diagnosis infeksi kala nifas. Pada kasus dengan infeksi
ringan, bidandapat memberikan pengobatan sedangkan pada infeksi kala nifas yang
berat sebaiknya bidan berkonsultasi atau merujuk penderita.
Pada persalinan normal yang ditolong
dengan baik tidak terlalu sring terjadi infeksi kala nifas. Dalam upaya
menurunkan infeksi kala nifas, dapat dilakukan pencegahan sebagai berikut:
1.
Pencegahan pada waktu hamil:
a. Meningkatkan
keadaan umum penderita
b. Mengurangi
faktor predisposisi infeksi kala nifas
2.
Pencegahan saat persalinan:
a. Mengurangi
perlukaan sebanyak mungkin
b. Merawat
perlukaan plasenta sebaik mungkin
c. Mencegah
terjadi perdarahan postpartum
d. Mengurangi
pemeriksaan dalam
e. Menghindari
persalinan yang berlangsung lama
3.
Pencegahan pada kala nifas:
a. Melakukan
mobilisasi dini sehingga darah loka keluar dengan lancar
b. Merawat
perlukaan dengan baik
c. Rawat
gabung dengan isolasi untuk mengurangi infeksi nosokomial.
(Manuaba,2010:507-511)
-
Masalah :
a. Infeksi
nifas merupakan morbiditas dan mortalitas bagi ibu pasca bersalin
b. Derajat
komplikasi bervariasi sangat tajam, mulai dari mastitis hingga adanya koagulasi
intravaskuler diseminata.
-
Penanganan
umum
a. Antisipasi
setiap kondisi (faktor predisposisi dan masalah dalam proses persalinan) yang
dapat berlanjut menjadi penyulit/ komplikasi dalam masa nifas
b. Berikan
pengobatan yang rasional dan efektif bagi ibu yang mengalami infeksi nifas.
c. Lanjutkan
pengamatan dan pengobatan terhadap maslaah atau infeksi yang dikenali pada saat
kehamilan ataupun persalinan.
d. Jangan
pulangkan penderita apabila masa kritis belum terlampaui
e. Beri catatan
atau intruksi tertulis untuk asuhan mandiri dirumah dan gejala-gejala yang
harus diwaspadai dan harus mendapat pertolongan dengan segera
f. Lakukan tindakan
dan perawatan yang sesuai bagi bayi baru lahir, dari ibu yang mengalami infeksi
pada saat perslainan.
(Saifuddin, 2006: 259 - 260).
- Jenis-jenis
infeksi pada masa nifas :
1.
Metritis
Metritis adalah infeksi
uterus setelah persalinan yang merupakan salah satu penyebab terbesar kematian
ibu. Bila pengobatan terlambat atau kurang adekuat dapat menjadi abses pelvik,
peritonitis, syok, septik, thrombosis vena yang dalam, emboli pulmonal, infeksi
pelvic yang menahun, dispareunia, penyumbatan tuba dan infertilitas.
Penanganan :
a.
Berikan transfusi bila dibutuhkan.
b.
Berikan antibiotika broadspektrum dalam dosis yang
tinggi
- Ampisilin 2
gr IV, kemudian 1 gr setiap 6 jam ditambah gentamicin 5 mg/kg berat badan IV
dosis tunggal/hari dan metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam. Lanjutkan
antibiotika ini sampai ibu tidak panas selama 24 jam
c.
Pertimbangkan pemberian antitetanus profilaksis
d.
Bila dicurigai adanya sisa plasenta, lakukan
pengeluaran (digital atau dengan kuret yang lebar)
e.
Bila ada pus lakukan drainase (kalau perlu kolpotomi),
ibu dalam posisi fowler
f.
Bila tak ada perbaikan dengan pengobatan konservatif
dan ada tanda peritonitis generalisata lakuakn laparatomi dan keluarkan pus.
Bila pada evaluasi uterus nekrotik dan septic lakukan histerektomi subtotal. (
Saifuddin, 2006 : 262)
2.
Bendungan payudara
Pembengkakan (engorgement)
payudara terjadi karena ASI tidak diisap oleh bayi secara adekuat, sehingga
terkumpul pada sistem duktus yang mengakibatkan terjadinya pembengkakan.
(Bahiyatun. 2009 : 31)
Etiologi :
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan bendungan ASI, yaitu:
a.
Pengosongan mamae yang tidak sempurna
Dalam masa laktasi, terjadi
peningkatan produksi ASI pada Ibu yang produksi
ASI nya berlebihan. apabila bayi sudah kenyang dan selesai menyusu, & payudara tidak dikosongkan,
maka masih terdapat sisa ASI di dalam
payudara. Sisa ASI tersebut jika tidak dikeluarkan dapat menimbulkan bendungan ASI.
b.
Faktor hisapan bayi yang tidak aktif
Pada masa laktasi, bila Ibu tidak
menyusukan bayinya sesering mungkin
atau jika bayi tidak aktif mengisap, maka akan menimbulkan bendungan ASI.
c.
Faktor posisi menyusui bayi yang tidak benar
Teknik yang salah dalam menyusui dapat mengakibatkan
puting susu
menjadi lecet dan menimbulkan rasa nyeri pada saat
bayi menyusu. Akibatnya Ibu tidak mau menyusui bayinya dan terjadi bendungan
ASI.
d.
Puting susu terbenam
Puting susu melesak ke dalam dikenal dengan sebutan rectracted nipple. Banyak dijumpai pada
ibu menyusui. Penyebabnya sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Mungkin
juga bawaan dari bentukan payudara sejak lahir. Puting susu yang terbenam akan menyulitkan bayi dalam menyusu.
Karena bayi tidak dapat menghisap puting dan areola, bayi tidak mau menyusu dan
akibatnya terjadi bendungan ASI.
e.
Puting susu terlalu panjang
Puting
susu yang panjang menimbulkan kesulitan pada saat bayi menyusu karena bayi tidak dapat menghisap areola dan
merangsang sinus laktiferus
untuk mengeluarkan ASI. Akibatnya ASI tertahan dan menimbulkan bendungan ASI. (Bahiyatun. 2009 : hal 31)
Patofisiologi :
Bendungan ASI adalah pembendungan
air susu karena penyempitan duktus laktiferi atau oleh kelenjar-kelenjar tidak
dikosongkan dengan sempurna atau kelainan pada putting susu. Sesudah bayi lahir
dan plasenta keluar, kadar estrogen dan progesteron turun dalam 2-3 hari.
Dengan ini faktor dari hipotalamus yang menghalangi keluarnya pituitary
lactogenic hormon (prolaktin) waktu hamil, dan sangat dipengaruhi oleh estrogen
tidak dikeluarkan lagi, dan terjadi sekresi prolaktin oleh hipofisis. Hormon
ini menyebabkan alveolus-alveolus kelenjar mammae terisi dengan air susu,
tetapi untuk mengeluarkannya dibutuhkan reflex yang menyebabkan kontraksi
sel-sel mio-epitelial yang mengelilingi alveolus dan duktus kecil
kelenjar-kelenjar tersebut. Refleksi ini timbul jika bayi menyusu. Pada
permulaan nifas apabila bayi belum menyusu dengan baik, atau kemudian apabila
kelenjar-kelenjar tidak dikosongkan dengan sempurna, terjadi pembendungan air
susu. (Wiknjosastro,
2005).
Gejala dan
Tanda :
Gejala yang dirasakan ibu apabila
terjadi bendungan ASI adalah :
a. Bengkak pada
payudara
b. Payudara terasa keras
c. Payudara terasa panas dan nyeri
3. Infeksi
payudara :
a. Mastitis
Mastitis
adalah infeksi payudara. Meskipun dapat terjaid pada setiap wanita, mastitis
semata-mata komplikasi pada wanita menyusui. Mastitis harus dibeadakn dari
peningkatan suhu transien dan nyeri payudara akibat pembesaran awal karena air
susu masuk ke dalam payudara. Mastitis terjadi akibat invasi jaringan payudara
(mis., glandular, jaringan ikat, areolar, lemak) oleh organisme infeksius, atau
adanya cedera payudara. Organisme yang umum termasuk S. aureus, streptococci, dan H.
parainfluenzae. Cedera payudara mungkin disebabkan memar karena manipulasi
yang kasar, pembesaran payudara, statis air susu ibu dalam duktus, atau
pecahnya atau fisura puting susu. Bakteri dapat berasal dari beberapa sumber:
(1) tangan ibu; (2) tangan orang yang merawat ibu atau bayi; (3) bayi; (4)
duktus laktiferus; (5) darah sirkulasi. Stres dan keletihan telah dikaitkan
dengan mastitis [1]. Hal ini masuk akal karena stress dan keletihan dapat
menyebabkan kecerobohan dalam teknik
penanganan, terutama saat mencuci tangan, atau menyusui, yang dapat menyebabkan
pembesaran dan statis..
Penanganan terbaik mastitis adalah
dengan pencegahan. Pencegahan dilakukan dengan mencuci tangan menggunakan sabun
antibakteri secara cermat; pencegahan pembesaran dengan menyusui sejak awal dan
sering; posisi bayi yang tepat pada payudara; penyangga payudara yang baik
tanpa konstrikti; membersihkan dengan hanya air dan tanpa agens pengering
observasi bayi setiap hari terhadap adanya infeksi kulit atau tali pusat; dan
menghindari kontak dekat dengan orang yang diketahui menderita infeksi atau
lesi stafilokokus.
Puting susu yang pecah atau fisura dapat
menjadi jalan masuk terjadinya infeksi S.
aureus. Pengolesan beberapa tetes air susu di area puting susu pada akhir
menyusui tampak meningkatkan penyembuhan. Pertimbangkan atau persisten, dan
profilaksis dengan antibiotik topikal atau sistemik jika sesuai.
Selain pembesaran berat, prekursor tanda
dan gejala mastitis biasanya tidak ada sebelum akhir minggu pertama
pascapartum. Setelah masa itu, wanita mungkin mengalami gejala-gejala berikut:
1. Nyeri
ringan pada salh satu lobus payudara, yang diperberat jika bayi menyusu
2. Gejala
seperti-flu: nyeri otot, sakit kepala, keletihan
Mastitis
hampir selalu terbatas pada satu payudara. Tanda dan gejala aktual mastitis
meliputi:
1. Peningkatan
suhu yang cepat dari (39,5 sampai 400C)
2. Peningkatan
kecepatan nadi
3. Menggigil
4. Malaise
umu, sakit kepala
5. Nyeri
hebat, bengkak, inflamasi, area payudara keras
Mastitis yang tidak ditangani memiliki
hampir 10% risiko terbentuknya abses. Tanda dan gejala abses meliputi:
1. Discharge
puting susu purulenta
2. Demam
remiten (suhu naik turun) disertai menggigil
3. Pembengkakan
payudara dan sangat nyeri; massa besar dan keras dengan area kulit berwarna
berfluktuasi kemerahan dan kebiruan mengindikasikan lokasi abses berisi pus
Jika diduga mastitis, intervensi dini
dapat mencegah perburukan. Intervensi meliputi beberapa tindakan higiene dan
kenyamanan:
1. BH
yang cukup menyangga tetapi tidak ketat
2. Perhatian
yang cermat saat mencuci tangan dan perawatan payudara
3. Kompres
hangat pada area yang terkena
4. Masase
area saat menyusui untuk memfasilitasi aliran air susu
5. Peningkatan
asupan cairan
6. Istirahat
7. Membantu
ibu menentukan prioritas untuk mengurangi stres dan keletihan dalam
kehidupannya
8. Suportif,
pemeliharan perawatan ibu
Baik sebaiknya terus menyusu, dan jika
menyusui tidak dimungkinkan karena nyeri payudara atau penolakan bayi pada
payudara yang terinfeksi, pemompaan teratur harus terus dilakukan. Pengosongan
payudara dengan sering akan mencegah statis air susu.
Terapi antibiotik dapat meliputi
penisilin resistan-penisilinase atau sefalosporin. Eritromisin mungkin
digunakan jika wanita alergi terhadap penisilin. Terapi awal yang paling umum
adalah dikloksasilin 500 mg per oral 4x sehari untuk 10 hari. Regimen ini dapat
diterapkan pada tanda mastitis meskipun tempat praktik tidak buka – contohnya,
pada hari minggu atau pada malam hari. Pada setiap kasus, penting dilakukan
untuk tindak lanjut dalam 72 jam untuk mengevaluasi kemajuan. Jika infeksi
tidak hilang, kultur air susu harus dilakukan.
Jika ibu adalah salah satu dari sekitar
10% wanita yang mengalami abses, bidan perlu melibatkan dokter konsultan untuk
melakukan aspirasi dengan jarum (abses kecil) atau insisi abses dan drainase
pus. Insisi dibiarkan terbuka, sering kali dengan drain sehingga tidak menahan
bakteri di dalam. Penyembuhan terjadi dari dalam ke luar dan memakan waktu satu
hingga dua minggu. Antibiotik sebaiknya dilanjutkan meskipun wanita akan
mengalami penyembuhan secara dramatis dalam beberapa hari.
Ibu, bidan, dan dokter sebaiknya
menyetujui rencana menyusui. Secara umum dapat dikatakan, apabila insisi tidak
pada jalur menyusui, menyusui dapat dilanjutkan pada kedua payudara dan ini
merupakan cara terbaik untuk melakukan pengosongan payudara yang terkena dan
menghindari terulangnya masalah. Sangat bermanfaat untuk mengingat bahwa
bakteri dalam air susu akan dibunuh oleh asam dalam salulran gastrointestinal
bayi dan tidak akan membahayakn bayi [2]. Apabila secara fisik tidak
memmungkinkan bagi ibu untuk melanjutkan menyusui pada payudara yang terkena,
payudara tersebut harus dikosongkan dengan memompa dan masase, dan ibu harus
melanjutkan menyusui pada payudara yang lain. Keterlibatan konsultan laktasi
yang berpengalaman menangani mastitis akan sangat bermanfaat.
Infeksi jamur pada payudara dapat
terjadi jika bayi mengalami sariawan, atau jika ibu mengalami infeksi jamur
vagina persisten. Jika puting susu cedera, atau jika ibu memnggunaka antibiotik
yang mempengaruhi flora normal kulit, jamur payudara cenderung terjadi [3, 4].
Infeksi ini dapat diidentifikasikan dengan awitan akut nyeri tajam, menusuk
pada puting susu jika bayi menyusu. Beberapa tanda-tanda objektif lain tampak.
Penanganan diberikan pada ibu dan bayi, meskipun anak tidak menunjukkan gejala
sariawan. Nystatin adalah terapi yang biasanya diberikan pertama. Mencuci
tangan, menangani bayi pada saat yang sama dengan ibunya, dan perawatan
payudara secara cermat dengan menghindari menyentuh kedua puting susu, tanpa
mencuci tangan sebelumnya, dan mengganti tampon payudara secara sering akan
menurunkan resiko penyebaran infeksi dari satu puting susu ke puting susu lainnya.
(varney,2006)
4.
Peritonitis
- Lakukan nasogastric
suction
- Berikan
infuse (NaCl atau Ringer Laktat)
- Berikan
antibiotika sehingga bebas panas selama 24 jam :
o Ampisilin 2
gr IV, kemudian 1 gr setiap 6 jam ditambah gentamicin 5 mg/kg berat badan IV
dosis tunggal/hari dan metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam.
- Laparatomi
diperlukan untuk pembersihan perut (peritoneal lavage). (Saifudin, 2006 : 264)
5.
Endometritis
Tanda dan gejala
endometritis sebagai beikut:
1. Peningkatan
demam secara persisten hingga 400C bergantung pada keparahan infeksi
2. Takikardia
3. Menggigil
dengan infeksi berat
4. Nyeri
tekan uteri menyebar secara lateral
5. Nyeri
panggul dengan pemeriksaan bimanual
6. Subinvolusi
7. Lokia
sedikit, tidak berbau, atau berbau tidak sedap, lokia seropurulenta
8. Variable
awitan bergantung opada organisme, dengan streptokokus Grup B muncul lebih awal
9. Hitung
sel darah putih mungkin meningkat di luar leukositosis puerperium fisiologis
Penanganan dengan obat anti mikroba
spektrum-luas termasuk sefalosporin (mis., cefoxitin, cefotetan) dan penisilin
spektrum-luas, atau inhibitor kombinasi penisilin/betalaktamasae (Augmentin,
Unasyn). Kombinasi klindamisin dan gentamisin juga dapat digunakan, seperti
metronidazol jika ibu tidak menyusui. Endometritis ringan dapat ditangani
dengan terapi oral meskipun infeksi meskipun infeksi lebih serius memerlukan
hospitalisasi untuk terapi intravena.
Penyebaran endometritis, jika tidak
ditangani, dapat menyebabkan salpingiti, tromboflebitis septik, peritonisis,
dan fasilitas nekrotikans. Setiap dugaan adanya infeksi memburuk, gejala yang
tidak dapat dijelaskan, atau nyeri akut memerlukan konsultasi dokter dan
rujukan.
6.
Infeksi luka perineal dan luka abdominal
Disebabkan oleh keadaan yang kurang bersih dan
tindakan pencegahan infeksi yang kurang baik.
- Bedakan
antara wound abcess, wound seroma, wound hematoma, dan wound cellulitis.
o Wound
abcess, wound seroma, dan wound hematoma atau pengerasan yang tidak biasa
dengan mengeluarkan cairan serous atau kemerahan dan tidak ada atau sedikit erithema
sekitar luka insisi
o Wound
cellulitis didapatkan eritema dan oedema meluas mulai dari tempat insisi dan melebar.
-
Bila didapat pus dan cairan pada luka, buka dan
lakukan pengeluaran
-
Ahitan yang terinfeksi dihilangkan dan lakukan
debridement
-
Bila infeksi sedikit tidak perlu antibiotika
- Bila infeksi
relative superficial, berikan ampisilin 500 mg peroral setiap 6 jam dan metrodidazol 500 mg peroral 3 kali/hari
selama 5 hari.
- Bila infeksi
dalam dan melibatkan otot dan menyebabkan nekrosis, berikan penisilin G 2 juta U IV setiap 4 jam (atau ampisilin
injeksi 1 gr 4 kali/ hari) ditambah
dengan gentamisin 5 mg/ kg berat badan perhari
IV sekali ditambah dengan metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam, sampai bebas panas selama 24 jam. Bila
ada jaringan nekrotik harus dibuang.
Lakukan jahitan sekunder 2-4 minggu setelah infeksi membaik.
- Berikan
nasehat kebersihan dan pemekaian pembalut yang bersih dan sering diganti. (Saifudin, 2006 : 264)
7. Tromboflebitis :
a.
Pelviotromboflebitis
- adalah infeksi nifas yang mengenai vena-vena
dinding uterus dan ligamentum latum.
- Etiologi : disebabkan oleh kurangnya gizi atau mal nutrisi,
anemia, kurang personal hygiene, trauma jalan lahir seperti partus lama atau
macet dan pemeriksaan dalam yang berlebihan.
- Gejala :
1)
Nyeri perut bagiab\n
bawah atau perut bagian samping, pada hari ke 2 - 3 masa nifas tanpa panas.
2)
Menggil
berulang kali. Menggigil inisial terjadi sangat berat ( 30-40 menit ) dengan
interval hanya beberapa jam saja kadang-kadang 3 hari
3)
Suhu badan naik
turun secaratajam ( 36 c menjadi 40 c ) yang diikuti dengan penurunan suhu
dalam waktu 1 jam.
4)
Berlansung
selama 1- 3 bulan
5)
Cenderung
berbentuk pus, yang menjalar kemana-mana terutama keparu-paru
- Komplikasi
1)
komplikasi pada
paru-paru : infark, abses, pneumonia
2)
Komplikasi pada
ginjal : sinistra, nyeri mendadak yang diikuti dengan proteinuria dan
hematuria.
3)
Komplikasi pada
persendiandan jaringan subkutan.
-
Penanganan :
1)
rwat inap
2)
terapi medik
3)
terapi operatif
b.
Tromboflebitis femoralis
- adalah infeksi nifas yang mengenai vena-vena pada
tungkai, misalnya vena femoralis,vena poplitea dan vena safvena.
- Penanganan
1)
Perawatan,
yaitu kaki ditinggikan dan kompres kaki. setelah mobilisasi kaki hendaknya
tetap dibalut elastik atau memakai kaos kaki panjang yang elastis selama
mungkin.
2)
mengingat
kondisi ibu yang sangat jelek, sebaiknya jangan menyusui.
3)
Terapi medik :
pemberian antibiotika dan analgetika.
(Iskandar, 2010)
c.
Flegmasia
Alba Dolens
Flegmasia
alba dolens merupakan salah satu bentuk infeksi puerperalis yang mengenai
pembuluh darah vena femoralis. Vena femoralis yang terinfeksi dan sisertai
pembentuka trombosis ddapat menimbulkan gejala klinis sebagai berikut:
a.
Terjadi pembengkakan pada tungkai
b.
Vena tampak berwarna putih
c.
Terasa sangat nyeri
d.
Tampak bendungan pembuluh darah
e.
Suhu tubuh meningkat.
Infeksi
venafemoralis jarang dijumpai dengan predisposisi pada penderita usia lanjut,
multiparitas, dan persalinan dengan tindakan operasi. Bila bidan berhadapan
dengan keadaan demikan sebaiknya berkonsultasi dengan dokter sehingga
mendapatkan pengobatan yang tepat dan adakuat.
C.
TROMBOEMBOLI
Tromboflebitis
pascapartumlebih umum terjadi pada wanita penderita varikositis atau yang
mungkin secara genetik rentan tentang relaksasi dinding vena dan statis vena.
Kehamilan mnyebabkan statis vena dengan sifat relaksasi dinding vena akibat
efek progesteron dan tekanan pada vela oleh uterus. Kehamilan juga merupakan
status hiperkoagulabel. Kompresi vena selama posisi persalinan atau pelahiran
juga dapat berperan terhadap masalah ini. Tromboflebitis digambarkan sebagai
superfisial atau, bergantung pada vena apa yang terkena.
Tromboflebitis superfisial ditandai
dengan nyeri tungkai, hangat terlokalisasi, nyeri tekan, atau inflamasi pada
sisi tersebut, dan palpasi adanya simpulan atau teraba pembuluh darah.
Tromboflebitis vena profunda ditandai dengan tanda dan gejala berikut:
1. Kemungkinan
peningkatan suhu ringan
2. Takikardia
ringan
3. Awitan
tiba-tiba nyeri sangat berat pada tungkai diperburuk dengan pergerakan atau
saat berdiri
4. Edema
pergelangan kaki, tungkai, dan paha
5. Tanda
Homan positif
6. Nyeri
saat penekanan betis
7. Nyeri
tekan sepanjang aliran pembuluh darah yang terkena dengan pembuluh darah dapat
teraba
Tanda Homans diperiksa dengan
menempatkan suhu tangan di lutut ibu dan memberikan penekanan ringan untuk
menjaga kaki tetap lurus. Jika terdapat nyeri betis saat dorsifleksi kaki,
tanda ini positif.
Penanganan meliputi tirah baring,
elevasi ektremitas yang terkena, kompres panas, stoking elastis, dan analgesia
yang dibutuhkan. Sprei ayun mungkin diperlukan jika tungkai sangat nyeri saat
disentuh (cenderung pada tromboflebitis superfisial). Rujukan ke dokter
konsultan penting untuk memutukan penggunaan terapi antikoagulan dan antibiotik
(cenderung pada tromboflebitis vena profunda). Tidak ada kondisi apa pun yang
mengharuskan masase tungkai.
Risiko terbesar yang berkaitan dengan
tromboflebitis adalah emboli paru, terutama sekali pada tromboflebitis vena
profunda dan kecil kemungkinannya terjadi tromboflebitis superfisial. Awitan
tiba-tiba takipena, dispena, dan nyeri dada tajam adalah gejala yang paling
umum. Banyak gejala lain yang kurang spesifik mungkin muncul, dan meliputi
perubahan suara paru atau bunyi jantung dan kecenderungan terjadinya penurunan
kadar oksigen darah wanita. Awitan
tiba-tiba gejala pertama mengharuskan evaluasi dokter segera pada wanita.
D.
HEMATOMA
Hematoma
adalah pembengkakan jaringan yang berisi darah. Bahaya hematoma adalah
kehilangan sejumlah darah karena hemoragi, anemia, dan infeksi. Hematoma
terjadi karena ruptur pembuluh darah spontan atau akibat trauma. Pada siklus
reproduktif, hematoma sering kali terjadi selama proses melahirkan atau segera
setelahnya, seperti hematoma vulva, vagina, atau hematoma ligamentum latum
uteri. Kemungkinan penyebab termasuk sebagai berikut:
1.
Pelahiran operatif
2.
Laserasi robekan pembuluh darah yang
tidak dijahit selama injeksi anestesia lokal atau pudendus, atau selama
penjahitan episioyomi atau laserasi
3.
Kegagalan hemostatis lengkap sebelum
penjahitan laserasi atau episiotomi
4.
Pembuluh darah di atas apeks insisi
atau laserasi tidak dibendung, atau
kegagalan melakukan jahitan pada titik tersebut
5.
Penanganan kasar pada jaringan vagina
kapan pun atau pada uterus selama masase
Tanda-tanda umum hematoma adalah nyeri
ekstrem di luar proporsi ketidaknyamanan dan nyeri yang diperkirakan. Tanda dan
gejala lain hematoma vulva atau vagina adalah sebagai berikut:
1. Penekanan
perineum, vagina, uretra, kandung kemih, atau rektum dan nyeri hebat
2. Pembengkakan
yang tegang dan berdenyut
3. Perubahan
warna jaringan kebiruan atau biru kehitaman
Hematoma vulva adalah yang paling jelas,
bdan hematoma vagina pada umumnya dapat diidentifikasi jika dilakukan inspeksi
vagina dan serviks dengan cermat. Hematoma ukuran-kecil dan sedang mungkin
dapat secara spontan diabsorpsi. Jika hematoma terus membesar, bukan menjadi
stabil, bidan harus memberitahukan dokter konsultan untuk evauasi dan perawatan
lebih lanjut, yang dapat meliputi pemantauan perdarahan terus-menerus dengan
melakukan pemeriksaan laboratorium hemaktokrit, insisi untuk mengevaluasi darah
dan bekuan darah serta penutupan rongga, dam perlunya intervensi pembedahan
lain, penggantian darah, atau antibiotik. Bidan terus menerapkan
penatalaksanaan terhadap aspek lain perjalanan pascapartum dan penyesuaian ibu.
Tanda dan gejala hematoma ligamentum
latum uteri meliputi sebagai berikut:
1.
Nyeri uteri lateral sensitif terhada
palpasi
2.
Penyebaran nyeri ke panggul
3.
Pembengkakan yang sangat nyeri
diidentifikasipada pemerikasaan rektum tinggi
4.
Penonjolan jaringan tepat di atas pintu
atas panggul, menyebar ke arah lateral (ini adalah ujung ligamnetum latum uteri
yang membengkak)
5.
Distensi abdomen
Jika diduga terjadi hematoma ligamentum
latum uteri, penting untuk mengkonsultasikannya dengan dokter. (varney,
2006)
E. MASALAH PSIKIATRI PASCA PERSALINAN
Beberapa penyesuaian
dibutuhkan oleh wanita untuk melakukan aktivitas dan peran barunya sebagai
seorang ibu pada minggu-minggu atau bulan-bulan pertama setelah melahirkan,
baik segi fisik maupun segi psikologis. Sebagaian wanita berhasil menyesuaikan
diri dengan baik, tetapi sebagian yang lainnya tidak berhasil menyesuaikan diri
dengan baik bahkan mengalami gangguan-gangguan psikologis, antara lain sebagai berikut
:
1.
Postpartum
Blues (Baby Blues)
a. Pengertian Postpartum Blues
Postpartum
blues menurut Ambarwati (2009) adalah perasaan sedih yang dialami oleh ibu
setelah melahirkan. Hal ini berkaitan dengan bayinya. Menurut Cuningham (2006),
postpartum blues adalah gangguan suasana hati yang berlangsung selama 3-6 hari
pasca melahirkan. Postpartum blues sering disebut juga dengan maternity blues
atau baby syndrome, yaitu kondisi yang sering terjadi dalam 14 hari pertama
setelah melahirkan, dan cenderung lebih buruk pada hari ketiga dan keempat
(Suririnah, 2008)
Berdasarkan
pengertian dari beberapa sumber tersebut maka dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan postpartum blues adalah suasana hati yang dirasakan oleh wanita
setelah melahirkan yang berlangsung selama 3-6 hari dalam 14 hari pertama pasca
melahhirkan, dimana perasaan ini berkaitan dengan bayinya.
b. Gejala Postpartum Blues menurut Ambarwati
(2009)
1) menangis
2) mengalami
perubahan perasaan
3) cemas
4) khawatir
mngenal sang bayi
5) kesepian
6) penurunan
gairah seksual
7) kurang
percaya diri terhadap kemampuannya menjadi seorang ibu
c.
Penyebab Postpartum Blues
1) Faktor
hormonal, berupa perubahan kadar estrogen, progesterone, prolaktin, dan estriol
yang terlalu rendah atau terlalu tinggi. Kadar estrogen turun secara bermakna
setelah melahirkan. Ternyata estrogen memiliki efek supresi terhadap aktivitas
enzim monoamine oksidase, yaitu suatu enzim otak yang bekerja mengaktivasi,
baik noradrenalin maupun serotonin yang berperan dalam suasana hati dan
kejadian depresi.
2) Factor
demografik, yaitu umur dan paritas. Umur yang terlalu muda untuk melahirkan,
sehingga dia memikirkan tanggungjawabnya sebagai seorang ibu untuk mnegurus
anaknya. Sedangkan postpartum blues banyak terjadi pada ibu
primipara, mengingat dia baru memasuki perannya sebagai seorang ibu, tetapi
tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada ibu yang pernah melahirkan, yaitu
jika mempunyai riwayat postpartum blues sebelumnya.
3) Pengalaman
dalam proses kehamilan dan persalinan. Kesulitan-kesulitan yang dialami ibu
selama kehamilannya akan turut memperburuk kondisi ibu pascamelahirkan.
Sedangkan pada persalinan, hal-hal yang tidak menyenangkan bagi ibu mencakup
lamanya persalinan serta intervensi medis yang digunakan selama proses
persalinan, seperti ibu yang melahirkan dengan cara operasi sesar (section
caesarea) akan dapat menimbulkan perasaan takut terhadap peralatan operasi
dan jarum. Ada dugaan bahwa semakin besar trauma fisik yang terjadi selama
proses persalinan, akan semakin besar pula trauma psikis yang muncul.
4) Latar
belakang psikososial wanita yang bersangkutan, seperti tingkat pendidikan,
status perkawinan, kehamilan yang tidak diinginkan, riwayat gangguan kejiwaan
sebelumnya, status social ekonomi, serta keadekuatan dukungan social dari
lingkungannya (suami, keluarga, dan teman). Apakah suami juga menginginkan
kehamilan ini? Apakah suami, keluarga, dan teman member dukungan moril (misalnya
dengan membantu dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga atau berperan
sebagai tempat ibu mengadu/ berkeluh kesah) selama ibu menjalani masa
kehamilannya?
5) Fisik.
Kelelahan fisik karena aktivitas mengasuh bayi, menyusui, memandikan, mengganti
popok, dan menimang sepanjang hari bahkan tak jarang dimalam buta sangatlah
menguras tenaga. Apalagi jika tidak ada bantuan dari suami anggota keluarga
lain.
d.
Penatalaksanaan Postpartum Blues
tindakan yang dapat dilakukan untuk
mengatasi postpartum blues pada ibu adalah :
1)
Dengan meminta bantuan suami atau
keluarga jika ibu membutuhkan
istirahat untuk menghilangkan kelelahan;
2)
Beritahu suami mengenai apa yang sedang
ibu rasakan. Mintalah dukungan dan
pertolongannya;
3)
Buang rasa cemas dan kekhawatiran ibu akan
kemampuan merawat bayi;
4)
Carilah hiburan dan luangkan waktu untuk
diri sendiri.
(Herawati
Mansur, 2009 : 155-157)
2. Depresi
Postpartum
a.
Pengertian depresi postpartum
Depresi postpartum hamper sama dengan baby
blues syndrome, perbedaan keduanya terletak pada frekuensi, intensitas, serta
durasi berlangsungnya gejala-gejala yang timbul. Pada postpartum depression,
ibu akan merasakan berbagai gejala yang ada pada baby blues syndrome, tetapi
pada intensitas yang lebih sering, lebih hebat serta lebih lama.
Depresi postpartum dialami seorang ibu
paling lambat 8 minggu setelah melahirkan, dan dalam kasus yang lebih parah,
bisa berlanjut selama setahun. Wanita yang menderita postpartum depression mempunyai kesulitan untuk menjalin
ikatan batin dengan buah hati yang baru dilahirkannya, sehingga ia pun
membutuhkan terapi pengobatan dari seorang ahli kejiwaan atau psikiater, dengan
dukungan orang-orang terdekat.
b.
Gejala depresi postpartum
Gejala-gejala
yang timbul pada depresi postpartum adalah sebagai berikut :
1)
Dipenuhi rasa sedih dan depresi yang
disertai dengan menangis tanpa sebab
2)
Tidak memiliki tenaga atau hanya sedikit
saja
3)
Tidak dapat berkonsentrasi
4)
Ada perasaan bersalah dan tidak berharga
5)
Menjadi tidak tertarik dengan bayi atau
terlalu memperhatikan dan mengkhawatirkan bayinya.
6)
Gangguan nafsu makan
7)
Ada perasaan takut untuk menyakiti diri
sendiri dan bayinya
8)
Gangguan tidur
c.
Penyebab depresi postpartum
Pada intinya
penyebab depresi postpartum sama dengan penyebab postpartum blues, yang
membedakan hanyalah karakteristik wanita yang berisiko mengalami depresi
postpartum. Berikut adalah karakteristik yang dimaksud :
1)
Wanita yang mempunyai riwayat depresi
2)
Wanita yang berasal dari keluarga yang
kurang harmonis
3)
Wanita yang kurang mendapatkan dukungan
dari suami atau orang-orang terdekatnya selama hamil dan setelah melahirkan
4)
Wanita yang jarang berkonsultasi dengan
dokter selama masa kehamilannya, misalnya kurang informasi dan komunikasi
5)
Wanita yang mengalami komplikasi selama
kehamilan
d.
Penatalaksanaan depresi postpartum
1)
Screening test,
di luar negeri seperti di belanda digunakan Endinburgh Postnatal Deppresion
Scale (EPDS) yang merupakan kuisioner dengan valliditas teruji kyang mampu
mengukur intensitas perubahan perasaan depresi selama 7 hari pascasalin.
Pertanyaan-pertanyaannya berhubungan dengan labilitas perasaan, kecemasan,
perasaan bersalah, serta mencakup hal-hal lain yang terdapat pada postpartum
blues.
2)
Dukungan psikologis dari suami dan
keluarga serta bidan atau petugas kesehatan lainnya.
3)
Istirahat yang cukup untuk mencegah dan
mengurangi perubahan perasaan.
4)
Dukungan dari tenaga kesehatan, seperti
dokter obstetri dan bidan/ perawat sangat diperlukan, misalnya dengan cara
memberikan informasi yang memadai/ adekuat tentang proses kehamilan dan
persalinan, termasuk penyulit-penyulit yang mungkin timbul pada masa-masa
tersebut beserta penanganannya.
5)
Diperlukan dukungan psikolog atau
konselor jika keadaan ibu tampak sangat mengganggu. Dukungan bisa diberikan
melalui keprihatinan dan perhatian pada ibu. Selain itu ibu dapat mencari
psikiater, psikolog atau ahli kesehatan mental lainnya untuk melakukan
konseling agar dapat menemukan cara dalam menanggulangi dan memecahkan masalah
serta menetapkan tujuan realistis.
(Herawati
Mansur, 2009 : 157-159)
3. Postpartum
psikosis/ postpartum kejiwaan
a.
Pengertian postpartum psikosis
Postpartum psikosis adalah masalah
kejiwaan serius yang dialami ibu selepas bersalin dan ditandai dengan agitasi
yang hebat, pergantian perasaan yang cepat, depresi, dan delusi. Wanita yang
mengalami postpartum psikosis membutuhkan perawatan segera dan pengobatan dari
psikiater. Pada tahap awal penyakitnya dan untuk meredakan gejala sering kali
ibu dengan postpartum psikosis harus dirawat inap di rumah sakit.. (Herawati
Mansur, 2009 : 159)
Psikosis
puerperium/ postpartum psikosis merupakan bentuk morbiditas psikiatrik yang
paling berat. Kondisi ini merupakan kondisi psikologis pascanatal yang lebih
jarang terjadi tetapi studi berbeda melaporkan berbagai tingkat insidens dari 1
: 500 sampai 1 : 1500. Awitan kondisi ini biasanya mendadak dan dramatis dan
biasanya terjadi sangat dini, dalam minggu pertama, sebagian besar mengalami
kondisi ini sebelum hari keenam belas setelah melahirkan.
Sekitar
25% wanita yang masuk ke rumah sakit karena masalah psikosis puerperium dalam 3
bulan setelah melahirkan telah mendapat konsultasi tentang gejala psikologi
dalam kehamilan; 50% telah mengalami gejala ansietas atau depresi dalam
kehamilan; 50% telah mengalami episode psikosis non puerperium dan atau riwayat
keluarga menderita penyakit mental. (Janet Medforth, dkk., 2012 : 490-491)
b.
Gejala postpartum psikosis
1)
Perasaan yang diperintahkan oleh Tuhan
atau kekuatan di luar diri untuk melakukan hal-hal yang tidak biasa dilakukan,
seperti merugikan diri atau bayi.
2)
Perasaan kebingungan yang intens
3)
Melihat atau mendengar hal-hal lain yang
tidak nyata
4)
Perubahan mood atau tenaga yang ekstreem
5)
Ketidakmampuan untuk merawat bayi
6)
Memory lapses (periode
kebingungan yang serupa dengan amnesia
7)
Serangan kegelisahan yang tidak
terkendali
8)
Pembicaraannya tidak dapat dipahami atau
mengalami gangguan komunikasi
c.
Penyebab postpartum psikosis
Para ahli tidak benar-benar yakin mengapa
postpartum kejiwaan terjadi. Namun, mereka menawarkan berbagai penjelasan
mengenai terjadinya disorder, dengan perubahan hormon. Alasan lain yang dapat
dikemukakan atau faktor yang turut berkontribusi termasuk kurangnya dukungan sosial
dan emosional, rasa rendah diri karena perempuan postpartum memiliki rasa
kurang memadai sebagai seorang ibu, merasa terpencil dan sendiri, mengalami
masalah keuangan, serta terjadi perubahan yang besar dalam kehidupan, seperti
pindah rumah atau memulai pekerjaan baru.
d.
Penatalaksanaan Postpartum Psikosis
Postpartum kejiwaan dianggap menjadi
darurat kesehatan mental. Oleh karena itu memerlukan perhatian segera. Hal ini
dikarenakan wanita yang menderita penyakit kejiwaan tidak selalu mampu atau
bersedia untuk berbicara dengan seseorang tentang disordernya, mereka
kadang-kadang membutuhkan pasangan atau anggota keliarga yang lain untuk
membantu mereka mendapatkan penanganan medis yang mereka butuhkan. Kondisi ini
biasanya diatasi dengan pemberian obat, biasanya obat antipsikosis dan
terkadang anti depresan dan atau antiancietas. Banyak wanita yang juga dapat
merasakan manfaat dari konseling dan dukungan psikologis kelompok. Dengan
perawatan dengan baik, sebagaian besar perempuan dapat pulih dari kekacauan. (Herawati
Mansur, 2009 : 160)
Harus ada rujukan segera ke tim
kesehatan jiwa karena kondisi biasanya akan memerlukan perawatan ke rumah
sakit. Prognosis baik, tetapi terdapat resiko tinggi berulangnya kejadian dalam
kehamilan berikutnya. (Janed Merfoth, dkk., 2012 : 491)
Pendapat lain menjelaskan mengenai
penatalaksanaan postpartum psikosa, diantaranya :
1) Memberikan
informasi kepada pasien dan keluarga tentang psikotik akut berikut hak dan
kewajibannya. Episode akut sering mempunyai prognosis yang baik, tetapi lama
perjalanan penyakit sukar diramalkan hanya dengan melihat dari satu episode
akut saja. Agitasi yang membahayakan pasien, keluarga atau masyarakat,
memerlukan hospitalisasi atau pengawasan ketat di suatu tempat yang aman. Jika
pasien menolak pengobatan, mungkin diperlukan tindakan dengan bantuan perawat
kesehatan jiwa masyarakat dan perangkat desa serta keamanan setempat
2) Menjaga
keamanan pasien dan individu yang merawatnya, diantaranya :
a) Keluarga
atau teman harus mendampingi pasien
b) Kebutuhan
dasar pasien terpenuhi (misalnya, makan, minum, eliminasi dan kebersihan)
c) Hati-hati
agar pasien tidak mengalami cedera
3) Konseling
pasien dan keluarga, diantaranya :
a) Bantu
keluarga mengenal aspek hukum yang berkaitan dengan pengobatan psikiatrik
antara lain : hak pasien, kewajiban dan tanggung jawab keluarga dalam
pengobatan pasien
b) Dampingi
pasien dan keluarga untuk mengurangi stress dan kontak dengan stresor
c) Motivasi
pasien agar melakukan aktivitas sehari-hari setelah gejala membaik
Sedangkan
program pengobatan untuk psikotik akut ialah berikan obat antipsikotik untuk
mengurangi gejala psikotik :
1) Haloperidol
2-5 mg, 1 sampai 3 kali sehari, atau Chlorpromazine 100-200 mg, 1 sampai 3 kali
sehari. Dosis harus diberikan serendah
mungkin untuk mengurangi efek samping, walaupun beberapa pasien mungkin
memerlukan dosis yang lebih tinggi.
2) Obat
antiansietas juga bisa digunakan bersama dengan neuroleptika untuk mengendalikan
agitasi akut (misalnya: lorazepam 1-2 mg, 1 sampai 3 kali sehari)
3) Lanjutkan
obat antipsikotik selama sekurang-kurangnya 3 bulan sesudah gejala hilang.
Apabila
ditemukan pasien gangguan jiwa di rumah dengan perilaku di bawah ini, lakukan
kolaborasi dengan tim untuk mengatasinya. Diantaranya :
1) Kekakuan
otot (Distonia atau spasme akut), bisa ditanggulangi dengan suntikan benzodiazepine
atau obat antiparkinson
2) Kegelisahan
motorik berat (Akatisia), bisa ditanggulangi dengan pengurangan dosis terapi atau
pemberian beta-bloker
3) Gejala
parkinson (tremor/gemetar, akinesia), bisa ditanggulangi dengan obat
antiparkinson oral (misalnya, trihexyphenidil 2 mg 3 kali sehari)
Dan Tindakan rujukan diperlukan bila
terjadi kondisi-kondisi yang tidak dapat diatasi melalui tindakan yang sudah
dilakukan sebelumnya khususnya pada :
1) Kasus
baru gangguan psikotik
2) Kasus dengan
efek samping motorik yang berat atau timbulnya demam, kekakuan, hipertensi,
hentikan obat antipsikotik lalu rujuk
DAFTAR
PUSTAKA
Baihatus. 2009. Buku Ajar Asuhan
Kebidanan Nifas Normal. Jakarta: EGC.
Manuaba, Ida Bagus Gde.2010.Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB
Untuk pendidikan Bidan.Jakarta:EGC
Mansur, Herawati. 2009. Psikologi Ibu dan Anak untuk Kebidanan. Jakarta
: Salemba Medika.
Medforth, Janet, dkk. 2012. Kebidanan
Oxford. Jakarta : EGC.
Prawirohardjo, Sarwono, 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT. Bina
Pustaka.
Saifudin, Abdul Bari. 2006. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta
: YBPSP.
Wiknjosastro. 2005. Ilmu
Kebidanan. Jakarta : YBPSP.
Varney,Helen.2006.Buku Ajar Asuhan Kebidanan Volume 2.Jakarta:EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar