Jumat, 11 Oktober 2013

Nifas patologi

PENDAHULUAN
Masa nifas (puerperium) dimulai setelah plasenta lahir dan berakhir ketika alat- alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas berlangsung selama kira- kira 6 minggu. (Saifuddin,2010;N23)
Periode pascapartum adalah masa dari kelahiran plasenta dan selaput janin (menandakan akhir periode intrapartum) hingga kembalinya traktus reproduksi ibu pada kondisi tidak hamil. (Varney,2007;958)
Selama masa nifas berlangsung, dapat terjadi banyak komplikasi. Komplikasi yang sering muncul antara lain: perdarahan pasca persalinan/ hemoragia pasca partum (HPP), infeksi masa nifas, tromboemboli, dan depresi pasca persalinan.

A.  HEMORAGI PASCAPARTUM
1.    Hemoragia pasca partum primer
-  Ialah perdarahan berat dari saluran genetalia sejak selesainya kala III persalinan sampai 24 jam setelah kelahiran. (Medforth, 2012: 472)
-  Ialah perdarahan yangmelebihi 500 cc setelah bayi lahir yang mana perdarahan masih berasal dari tempat implantasi plasenta robekan jalan lahir dan jaringan sekitarnya. ( Sarwono, 2008: 521).
-  Etiologi :
a.    Atonia uteri dan
b.    Sisa plasenta ( 80%)

c.    Laserasi jalan lahir (20% )
d.   Gangguan faal pembekuan darah pasca solusio plasenta
-  Faktor resiko :
a.    Partus lama
b.    Overdistensi uterus ( hidramnion , kehamilan kembar, makrosomia )
c.    Perdarahan antepartum
d.   Pasca induksi oksitosin atau MgSO4
e.    Korioamnionitis
f.     Mioma uteri
g.    Anesthesia
-  Diagnosis :
a.    Jumlah perdarahan pasca persalinan yang sesunguhnya sulit ditentukan oleh karena sering bercampur dengan cairan amnion, tercecer, diserap bersama dengan kain dan lain sebagainya.
b.    Perdarahan pervaginam yang profuse dapat terjadi sebelum plasenta lahir atau segera setelah ekspulsi plasenta.
c.    Perdarahan dapat terjadi secara profus dalam waktu singkat atau sedikit sedikit diselingi dengan kontraksi uterus.
-  Penatalaksanaan :
a.    Perdarahan kala III ( plasenta belum lahir )
·      Masase fundus uterus untuk memicu kontraksi uterus disertai dengan tarikan talipusat terkendali. Bila perdarahan terus terjadi meskipun uterus telah berkontraksi dengan baik, periksa kemungkinan laserasi jalan lahir atau ruptura uteri
·      Bila plasenta belum dapat dilahirkan , lakukan plasenta manual
·      Bila setelah dilahirkan terlihat tidak lengkap maka harus dilakukan eksplorasi cavum uteri atau kuretase
b. Perdarahan pasca persalinan primer ( true HPP )
1.    Periksa apakah plasenta lengkap
2.    Masase fundus uteri
3.    Pasang infuse RL dan berikan uterotonik ( oksitosin , methergin      atau misoprostol )
4.    Bila perdarahan > 1 L pertimbangkan tranfusi
5.    Periksa faktor pembekuan darah
6.    Bila kontraksi uterus baik dan perdarahan terus terjadi , periksa        kembali kemungkinan adanya laserasi jalan lahir
7.    Bila perdarahan terus berlangsung , lakukan kompresi bimanual
8.    Bila perdarahan terus berlangsung , pertimbangkan ligasi arteri         hipogastrika

2.    Perdarahan pasca persalinan sekunder
-  Perdarahan hebat dari saluran genetalia yang terjadi setelah 24 jam pertama sampai 6 minggu setelah kelahiran. (Medforth, 2012: 474)
-   Perdarahan kala nifas sekunder adalah perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pertama. Kejadiannya tidak terlalu besar, apalagi dengan makin gencarnya penerimaan geraka keluarga berencana. Penyebab utama perdarahan nifas sekunder adalah terdapatnya sisa plasenta atau selaput ketuban (pada grandemultipara dan kelainan bentuk implantasi plasenta), infeksi pada endometrium, dan sebgaian kecil terjadi dalam bentuk mioma uteri bersamaan dengan kehamilan den inversio uteri. (Manuaba, 2010:507-511)
-   Hemoragi pascapartum lambat adalah hemoragi yang terjadi setelah 24 jam pertama pascapartum. Penyebab umumnya meliputi:
-   Subinvolusi ditempat perlekatan plasenta
-   Fragmen plasenta atau membran janin yang tertinggal
-   Laserasi saluran reproduksi yang sebelumnya tidak terdiagnosis
-   Hematoma                                                                   (varney, 2006)
-   Gejala klinis perdarahan kala nifas sekunder adalah terjadi perdarahan berkepanjangan melampaui patrun pengeluaran lokia normal, terjadi perdarahan yang cukup banyak, dan dapat disertai rasa nyeri didaerah uterus. Menghadapi keadaan demikian sebaiknya bidan berkonsultasi pada dokter sehingga pelayanan medis terhadap masyarakat lebih baik dan bermutu. (Manuaba, 2010:507-511)
-   Menurut Saifudin (2008; 75) Untuk memperkirakan kemungkinan penyebab perdarahan pasca persalinan sehingga pengelolaannya tepat, perlu dibenahi gejala dan tanda sebagai berikut :
Gejala dan tanda
Penyulit
Diagnosa penyebab
·         Uterus tidak berkontraksi dan lembek
·         Perdarahan segera setelah bayi lahir
·         Syok
·         Bekuan darah pada serviks atau pada posisi terlentang akan menghambat aliran darah keluar
·         Atonia uteri
·         Darah segar mengalir segera setelah anak lahir
·         Uterus berkontraksi dan keras
·         Plasenta lengkap
·         Pucat
·         Lemah
·         Mengigil
·         Robekan jalan lahir
·         Plasenta belum lahir setelah 30 menit
·         Perdarahan segera, uterus berkontraksi dan keras
·         Tali pusat putus
·         Inversio uteri
·         Perdarahan lanjutan
·         Retensio plasenta
·         Plasenta atau sebagian selaput tidak lengkap
·         Perdarahan segera
·         Uterus berkontraksi tetapi tinggi fundus uteri tidak berkurang
·         Tertinggalnya sebagian plasenta
·         Uterus tidak teraba
·         Lumen vagina terisi massa
·         Neurogenik syok, pucat dan limbung
·         Inversio uteri

-  Terapi awal :
1.         Memasang cairan infuse dan
2.         Memberikan uterotonika (methergin 0.5 mg intramuskular)
3.         Antipiretika dan Antibiotika (bila ada tanda infeksi)
4.         Kuretase hanya dilakukan bila ada sisa konsepsi
-          Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan umum
a.         Ketahui secara pasti kondisi ibu bersalin sejak awal
b.         Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih dan aman
c.         Selalu siapkan keperluan tindakan gawat darurat
d.        Segera lakukan penilaian klinik dan upaya pertolongan apabila dihadapkan dengan masalah dan komplikasi
e.         Atasi syok jika terjadi syok
f.          Pastikan kontraksi berlangsung baik ( keluarkan bekuan darah, lakukan pijatan uterus, beri uterotonika 10 IV dilanjutkan infus 20 ml dalam 500 cc NS/RL dengan tetesan 40 tetes/menit ).
g.         Pastikan plasenta telah lahir lengkap dan eksplorasi kemungkinan robekan jalan lahir
h.         Bila perdarahan tidak berlangsung, lakukan uji bekuan darah.
i.           Pasang kateter tetap dan pantau cairan keluar masuk
j.           Lakukan observasi ketat pada 2 jam pertama paska persalinan dan lanjutkan pemantauan terjadwal hingga 4 jam berikutnya.

b.      Penatalaksanaan khusus
a.      Atonia uteri
v  Kenali dan tegakan kerja atonia uteri
v  Sambil melakukan pemasangan infus dan pemberian uterotonika, lakukan pengurutan uterus
v  Pastikan plasenta lahir lengkap dan tidak ada laserasi jalan lahir
v  Lakukan tindakan spesifik yang diperlukan :
v  Kompresi bimanual eksternal yaitu menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uteus. Bila perdarahan berkurang kompresi diteruskan, pertahankan hingga uterus dapat kembali berkontraksi atau dibawa ke fasilitas  kesehatan rujukan.
v  Kompresi bimanual internal yaitu uterus ditekan diantara telapak tangan pada dinding abdomen dan tinju tangan dalam vagina untuk menjempit pembuluh darah didalam miometrium.
v  Kompresi aorta abdominalis yaitu raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi tersebut genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus, tegak lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis, penekanan yang tepat akan menghetikan atau mengurangi, denyut arteri femoralis.

b.      Retensio plasenta dengan separasi parsial
v  Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang akan diambil.
v  Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengejan, bila ekspulsi tidak terjadi cobakan traksi terkontrol tali pusat.
v  Pasang infus oksitosin 20 unit/500 cc NS atau RL dengan tetesan 40/menit, bila perlu kombinasikan dengan misoprostol 400mg per rektal.
v  Bila traksi terkontrol gagal melahirkan plasenta, lakukan manual plasenta secara hati-hati dan halus.
v  Restorasi cairan untuk mengatasi hipovolemia.
v  Lakukan transfusi darah bila diperlukan.
v  Berikan antibiotik profilaksis ( ampicilin 2 gr IV/oral + metronidazole 1 g supp/oral ).

c.       Plasenta inkarserata
v  Tentukan diagnosis kerja
v  Siapkan peralatan dan bahan untuk menghilangkan kontriksi serviks yang kuat, tetapi siapkan infus fluothane atau eter untuk menghilangkan kontriksi serviks yang kuat, tetapi siapkan infus oksitosin 20 Untuk500 NS atau RL untuk mengantisipasi gangguan kontraksi uterus yang mungkin timbul.
v  Bila bahan anestesi tidak tersedia, lakukan manuver sekrup untuk melahirkan plasenta.
v  Pasang spekulum Sims sehingga ostium dan sebagian plasenta tampak jelas.
v  Jepit porsio dengan klem ovum pada jam 12, 4 dan 8 dan lepaskan spekulum
v  Tarik ketiga klem ovum agar ostium, tali pusat dan plasenta tampak jelas.
v  Tarik tali pusat ke lateral sehingga menampakkan plasenta disisi berlawanan agar dapat dijepit sebanyak mungkin, minta asisten untuk memegang klem tersebut.
v  Lakukan hal yang sama pada plasenta kontra lateral
v  Satukan kedua klem tersebut, kemudian sambil diputar searah jarum jam tarik plasenta keluar perlahan-lahan.

d.      Ruptur uteri
v  Berikan segera cairan isotonik ( RL/NS) 500 cc dalam 15-20 menit dan siapkan laparatomi
v  Lakukan laparatomi untuk melahirkan anak dan plasenta, fasilitas pelayanan kesehatan dasar harus merujuk pasien ke rumah sakit rujukan
v  Bila konservasi uterus masih diperlukan dan kondisi jaringan memungkinkan, lakukan operasi uterus
v  Bila luka mengalami nekrosis yang luas dan kondisi pasien mengkwatirkan lakukan histerektomi
v  Lakukan bilasan peritonial dan pasang drain dari cavum abdomen
v  Antibiotik dan serum anti tetanus, bila ada tanda-tanda infeksi.

e.       Sisa plasenta
v  Penemuan secara dini, dengan memeriksa kelengkapan plasenta setelah dilahirkan
v  Berikan antibiotika karena kemungkinan ada endometriosis
v  Lakukan eksplorasi digital/bila serviks terbuka dan mengeluarkan bekuan darah atau jaringan, bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrument, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan dilatasi dan kuret.
v  Hb  8 gr% berikan transfusi atau berikan sulfat ferosus 600mg/hari selama 10 hari.

f.       Ruptur peritonium dan robekan dinding vagina
v  Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber perdarahan
v  Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptik
v  Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang yang dapat diserap
v  Lakukan penjahitan luka dari bagian yang paling distal
v  Khusus pada ruptur perineum komplit dilakukan penjahitan lapis demi lapis dengan bantuan busi pada rektum, sebagai berikut :
v  Setelah prosedur aseptik- antiseptik, pasang busi rektum hingga ujung robekan
v  Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul sub mukosa, menggunakan benang polyglikolik No 2/0 ( deton/vierge ) hingga ke sfinter ani, jepit kedua sfinter ani dengan klem dan jahit dengan benang no 2/0.
v  Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan sub mukosa dengan benang yang sama ( atau kromik 2/0 ) secara jelujur.
v  Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara sub mukosa dan sub kutikuler
v  Berikan antibiotik profilaksis. Jika luka kotor berikan antibiotika untuk terapi.

g.      Robekan serviks
v  Sering terjadi pada sisi lateral, karena serviks yang terjulur akan mengalami robekan pada posisi spina ishiadika tertekan oleh kepala bayi.
v  Bila kontraksi uterus baik, plasenta lahir lengkap, tetapi terjadi perdarahan banyak maka segera lihat bagian lateral bawah kiri dan kanan porsio
v  Jepitan klem ovum pada kedua sisi porsio yang robek sehingga perdarahan dapat segera di hentikan, jika setelah eksploitasi lanjutkan tidak dijumpai robekan lain, lakukan penjahitan, jahitan dimulai dari ujung atas robekan kemudian kearah luar sehingga semua robekan dapat dijahit
v  Setelah tindakan periksa tanda vital, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri dan perdarahan paska tindakan
v  Berikan antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-tanda infeksi
v  Bila terjadi defisit cairan lakukan restorasi dan bila kadar Hb dibawah 8 gr% berikan transfusi darah

B.  INFEKSI MASA NIFAS
Infeksi Puerperium adalah infeksi bakteri yang berasal dari saluran reproduksi selama persalinan atau puerperium. Infeksi tidak lagi bertanggung jawab terhadap tingginya insiden mortalitas seperti dahulu, saat lebih dikenal dengan demam nifas. Akan tetapi, infeksi puerperium masih bertanggung jawab terhadap presentase signifikan morbiditas puerperium.
-          Penyebab Predisposisi
Situasi berikut merupakan predisposisi infeeksi peuerperium pada wanita:
1.      Persalinan lama, khususnya dengan pecah ketuban
2.      Pecah ketuban yang lama sebelum persalinan
3.      Bermacam-macam pemeriksaan vagina selama persalinan, khususnya pecah ketuban
4.      Teknik aseptik tidak sempurna
5.      Tidak memperhatikan teknik cuci tangan
6.      Manipulasi intrauteri (mis., eksplorasi uteri, pengeluaran plasenta manual)
7.      Trauma jaringan yang luas atau luka terbuka, seperti laserasi yang tidak diperbaiki
8.      Hematoma
9.      Hemoragi, khususnya jika kehilangan darah lebih dari 1000 mL
10.  Pelahiran Operatif, terutama pelahiran melalui seksio sesaria
11.  Retensi sisa plasenta atau membran janin
12.  Perawatan perineum tidak memadai
13.  Infeksi vagina/serviks atau penyakit menular seksual yang tidak ditangani (mis., vaginosis bakteri, klamidia, gonorea)
-          Organisme Infeksius               
Organisme pada infeksi puerperium berasal dari tiga sumber:
1.      Organisme yang normalnya berada dalam saluran genitalia bawah atau dalam usus besar
2.      Infeksi saluran genitalia bawah
3.      Bakteri dalam fasonaring atau pada tangan personel yang menangani persalinan atau di udara dan debu lingkungan
Bakteri dari sumber infeksi pertama adalah bakteri endogen dan menjadi patogen hanya jika terdapat kerusakan jaringan atau jika terdaat kontaminasi saluran genitalia dari usus besar. Wanita sebaiknya secara rutin menjalani penapisan terhadap infeksi saluran genitalia bawah dan segera ditangani secara pranatal. Sumber infeksi ketiga paling baik dicegah dengan mencuci tangan dan teknik asepsi yang tepat.
Organisme yang umum pada infeksi puerperium termasuk berbagai spesies Streptococcus (termasuk S. varidans, S. pyogenes, dan S. agalactiae), Staphylococcus aureus, Gardnerella vaginalis, E. Coli, spesies Klebsiella, spesies Proteus, peptostreptococci anaerobik, spesies Bacteroides, Ureaplasma, dan Mycoplasma. Beberapa organisme ini cukup umum sebagai flora vagina sehingga hubungannya dengan infeksi tidak jelas. Neisseria gonorrhoeae dan Chlamydia trachomatis juga dapatg menyebabkan infeksi genitalia pascapartum meskipun penapisan pranatal akan meminimalkan risiko keberadaanya.


-          Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala infeksi pada umumnya termasuk peningkatan suhu tubuh, malaise umum, nyeri, dan lokia berbau tidak sedap. Peningkatan kecepatan nadi dapat terjadi, teruatam pada infeksi berat. Interpretasi kultur laboratorium dan sensitivitas, pemeriksaan lebih lanjut, dan penanganan memerlukan diskusi dan kolaborasi dengan dokter konsultan Anda.
-          Tempat-tempat Infeksi Puerperium
Meskipun infeksi pascapartum terbanyak adalah endometritis, yang jauh lebih umum terjadi setelah pelahiran sesar daripada pelahiran per vagina, adanya laserasi atau trauma jaringan dalam saluran genitalia dapat menjadi terinfeksi setelah melahirkan. Juga terdaat penyebaran infeksi, yang berasal dari infeksi lokal dan menyebar melalui sirkulasi vena atau limfatik, mengakibatkan infeksi bakteri di tempat yang lebih jauh. Area perluasan infeksi puerperium melalui selulitis panggul, salpingtis, ooforitis, peritonitis, tromboflebitis panggul dan/atau femoral, dan bakteremia.
-          Infeksi Trauma Vulva, Perineum, Vagina, atau Serviks    
Tanda dan gejala infeksi episotomi, laserasi, atau taruma lain meliputi sebagai berikut:
1.      Nyeri lokal
2.      Disuria
3.      Suhu derajat-rendah – jarang di atas 38,30C
4.      Edema
5.      Sisi jahitan merah dan inflamasi
6.      Mengeluarkan pus atau eksudat berwarna abu-abu kehijauan
7.      Pemisah atau terlepasnya lapisan luka operasi
(Varney,2006)
-          Gambaran klinis infeksi kala nifas
Infeksi lokal:
a.       Pembengkakan luka episiotomi
b.      Terbentuk pus
c.       Perubahan warna lokal
d.      Pengeluaran lokia bercampur nanah
e.       Mobilisasi terbatas karena rasa nyeri
f.       Temperatur badan dapat meningkat
Infeksi umum:
a.       Tampak sakit dan lemah
b.      Temperatur meningkat lebih dari 39 oC
c.       Tekanan darah menurun dan nadi meningkat
d.      Pernapasan meningkat dan terasa sesak
e.       Kesadaran gelisah sampai menurun dan koma
f.       Terjadi gangguan involusi uterus
g.      Lokia berbau dan mengeluarkan pus serta kotor
Dengan gambaran klinis tersebut bidan dapat menegakkan diagnosis infeksi kala nifas. Pada kasus dengan infeksi ringan, bidandapat memberikan pengobatan sedangkan pada infeksi kala nifas yang berat sebaiknya bidan berkonsultasi atau merujuk penderita.
Pada persalinan normal yang ditolong dengan baik tidak terlalu sring terjadi infeksi kala nifas. Dalam upaya menurunkan infeksi kala nifas, dapat dilakukan pencegahan sebagai berikut:
1.      Pencegahan pada waktu hamil:
a.       Meningkatkan keadaan umum penderita
b.      Mengurangi faktor predisposisi infeksi kala nifas
2.      Pencegahan saat persalinan:
a.       Mengurangi perlukaan sebanyak mungkin
b.      Merawat perlukaan plasenta sebaik mungkin
c.       Mencegah terjadi perdarahan postpartum
d.      Mengurangi pemeriksaan dalam
e.       Menghindari persalinan yang berlangsung lama
3.      Pencegahan pada kala nifas:
a.       Melakukan mobilisasi dini sehingga darah loka keluar dengan lancar
b.      Merawat perlukaan dengan baik
c.       Rawat gabung dengan isolasi untuk mengurangi infeksi nosokomial.
(Manuaba,2010:507-511)



-  Masalah :
a.    Infeksi nifas merupakan morbiditas dan mortalitas bagi ibu pasca bersalin
b.    Derajat komplikasi bervariasi sangat tajam, mulai dari mastitis hingga adanya koagulasi intravaskuler diseminata.

-  Penanganan umum
a.    Antisipasi setiap kondisi (faktor predisposisi dan masalah dalam proses persalinan) yang dapat berlanjut menjadi penyulit/ komplikasi dalam masa nifas
b.    Berikan pengobatan yang rasional dan efektif bagi ibu yang mengalami infeksi nifas.
c.    Lanjutkan pengamatan dan pengobatan terhadap maslaah atau infeksi yang dikenali pada saat kehamilan ataupun persalinan.
d.   Jangan pulangkan penderita apabila masa kritis belum terlampaui
e.    Beri catatan atau intruksi tertulis untuk asuhan mandiri dirumah dan gejala-gejala yang harus diwaspadai dan harus mendapat pertolongan dengan segera
f.     Lakukan tindakan dan perawatan yang sesuai bagi bayi baru lahir, dari ibu yang mengalami infeksi pada saat perslainan.
(Saifuddin, 2006: 259 - 260).
-  Jenis-jenis infeksi pada masa nifas :
1.    Metritis
          Metritis adalah infeksi uterus setelah persalinan yang merupakan salah satu penyebab terbesar kematian ibu. Bila pengobatan terlambat atau kurang adekuat dapat menjadi abses pelvik, peritonitis, syok, septik, thrombosis vena yang dalam, emboli pulmonal, infeksi pelvic yang menahun, dispareunia, penyumbatan tuba dan infertilitas.
Penanganan :
a.    Berikan transfusi bila dibutuhkan.
b.    Berikan antibiotika broadspektrum dalam dosis yang tinggi
-  Ampisilin 2 gr IV, kemudian 1 gr setiap 6 jam ditambah gentamicin 5 mg/kg berat badan IV dosis tunggal/hari dan metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam. Lanjutkan antibiotika ini sampai ibu tidak panas selama 24 jam
c.    Pertimbangkan pemberian antitetanus profilaksis
d.   Bila dicurigai adanya sisa plasenta, lakukan pengeluaran (digital atau dengan kuret yang lebar)
e.    Bila ada pus lakukan drainase (kalau perlu kolpotomi), ibu dalam posisi fowler
f.     Bila tak ada perbaikan dengan pengobatan konservatif dan ada tanda peritonitis generalisata lakuakn laparatomi dan keluarkan pus. Bila pada evaluasi uterus nekrotik dan septic lakukan histerektomi subtotal. ( Saifuddin, 2006 : 262)

2.    Bendungan payudara
          Pembengkakan (engorgement) payudara terjadi karena ASI tidak diisap oleh bayi secara adekuat, sehingga terkumpul pada sistem duktus yang mengakibatkan terjadinya pembengkakan. (Bahiyatun. 2009 : 31)
Etiologi :
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan bendungan ASI, yaitu:
a.    Pengosongan mamae yang tidak sempurna
   Dalam masa laktasi, terjadi peningkatan produksi ASI pada Ibu yang   produksi ASI nya berlebihan. apabila bayi sudah kenyang dan selesai     menyusu, & payudara tidak dikosongkan, maka masih terdapat sisa ASI di dalam payudara. Sisa ASI tersebut jika tidak dikeluarkan dapat       menimbulkan bendungan ASI.
b.    Faktor hisapan bayi yang tidak aktif
    Pada masa laktasi, bila Ibu tidak menyusukan bayinya sesering             mungkin atau jika bayi tidak aktif mengisap, maka akan menimbulkan             bendungan ASI.
c.    Faktor posisi menyusui bayi yang tidak benar
Teknik yang salah dalam menyusui dapat mengakibatkan puting susu
menjadi lecet dan menimbulkan rasa nyeri pada saat bayi menyusu. Akibatnya Ibu tidak mau menyusui bayinya dan terjadi bendungan ASI.
d.   Puting susu terbenam
Puting susu melesak ke dalam dikenal dengan sebutan rectracted nipple. Banyak dijumpai pada ibu menyusui. Penyebabnya sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Mungkin juga bawaan dari bentukan payudara sejak lahir.     Puting susu yang terbenam akan menyulitkan bayi dalam menyusu. Karena bayi tidak dapat menghisap puting dan areola, bayi tidak mau menyusu dan akibatnya terjadi bendungan ASI.
e.    Puting susu terlalu panjang
   Puting susu yang panjang menimbulkan kesulitan pada saat bayi           menyusu karena bayi tidak dapat menghisap areola dan merangsang             sinus laktiferus untuk mengeluarkan ASI. Akibatnya ASI tertahan dan            menimbulkan bendungan ASI.                                                                          (Bahiyatun. 2009 : hal 31)
Patofisiologi :
Bendungan ASI adalah pembendungan air susu karena penyempitan duktus laktiferi atau oleh kelenjar-kelenjar tidak dikosongkan dengan sempurna atau kelainan pada putting susu. Sesudah bayi lahir dan plasenta keluar, kadar estrogen dan progesteron turun dalam 2-3 hari. Dengan ini faktor dari hipotalamus yang menghalangi keluarnya pituitary lactogenic hormon (prolaktin) waktu hamil, dan sangat dipengaruhi oleh estrogen tidak dikeluarkan lagi, dan terjadi sekresi prolaktin oleh hipofisis. Hormon ini menyebabkan alveolus-alveolus kelenjar mammae terisi dengan air susu, tetapi untuk mengeluarkannya dibutuhkan reflex yang menyebabkan kontraksi sel-sel mio-epitelial yang mengelilingi alveolus dan duktus kecil kelenjar-kelenjar tersebut. Refleksi ini timbul jika bayi menyusu. Pada permulaan nifas apabila bayi belum menyusu dengan baik, atau kemudian apabila kelenjar-kelenjar tidak dikosongkan dengan sempurna, terjadi pembendungan air susu. (Wiknjosastro, 2005).
Gejala dan Tanda :
Gejala yang dirasakan ibu apabila terjadi bendungan ASI adalah :
a.    Bengkak pada payudara
b.      Payudara terasa keras
c.     Payudara terasa panas dan nyeri

3.    Infeksi payudara :
a.    Mastitis
Mastitis adalah infeksi payudara. Meskipun dapat terjaid pada setiap wanita, mastitis semata-mata komplikasi pada wanita menyusui. Mastitis harus dibeadakn dari peningkatan suhu transien dan nyeri payudara akibat pembesaran awal karena air susu masuk ke dalam payudara. Mastitis terjadi akibat invasi jaringan payudara (mis., glandular, jaringan ikat, areolar, lemak) oleh organisme infeksius, atau adanya cedera payudara. Organisme yang umum termasuk S. aureus, streptococci, dan H. parainfluenzae. Cedera payudara mungkin disebabkan memar karena manipulasi yang kasar, pembesaran payudara, statis air susu ibu dalam duktus, atau pecahnya atau fisura puting susu. Bakteri dapat berasal dari beberapa sumber: (1) tangan ibu; (2) tangan orang yang merawat ibu atau bayi; (3) bayi; (4) duktus laktiferus; (5) darah sirkulasi. Stres dan keletihan telah dikaitkan dengan mastitis [1]. Hal ini masuk akal karena stress dan keletihan dapat menyebabkan kecerobohan  dalam teknik penanganan, terutama saat mencuci tangan, atau menyusui, yang dapat menyebabkan pembesaran dan statis..
Penanganan terbaik mastitis adalah dengan pencegahan. Pencegahan dilakukan dengan mencuci tangan menggunakan sabun antibakteri secara cermat; pencegahan pembesaran dengan menyusui sejak awal dan sering; posisi bayi yang tepat pada payudara; penyangga payudara yang baik tanpa konstrikti; membersihkan dengan hanya air dan tanpa agens pengering observasi bayi setiap hari terhadap adanya infeksi kulit atau tali pusat; dan menghindari kontak dekat dengan orang yang diketahui menderita infeksi atau lesi stafilokokus.
Puting susu yang pecah atau fisura dapat menjadi jalan masuk terjadinya infeksi S. aureus. Pengolesan beberapa tetes air susu di area puting susu pada akhir menyusui tampak meningkatkan penyembuhan. Pertimbangkan atau persisten, dan profilaksis dengan antibiotik topikal atau sistemik jika sesuai.
Selain pembesaran berat, prekursor tanda dan gejala mastitis biasanya tidak ada sebelum akhir minggu pertama pascapartum. Setelah masa itu, wanita mungkin mengalami gejala-gejala berikut:
1.      Nyeri ringan pada salh satu lobus payudara, yang diperberat jika bayi menyusu
2.      Gejala seperti-flu: nyeri otot, sakit kepala, keletihan
Mastitis hampir selalu terbatas pada satu payudara. Tanda dan gejala aktual mastitis meliputi:
1.      Peningkatan suhu yang cepat dari (39,5 sampai 400C)
2.      Peningkatan kecepatan nadi
3.      Menggigil
4.      Malaise umu, sakit kepala
5.      Nyeri hebat, bengkak, inflamasi, area payudara keras


Mastitis yang tidak ditangani memiliki hampir 10% risiko terbentuknya abses. Tanda dan gejala abses meliputi:
1.      Discharge puting susu purulenta
2.      Demam remiten (suhu naik turun) disertai menggigil
3.      Pembengkakan payudara dan sangat nyeri; massa besar dan keras dengan area kulit berwarna berfluktuasi kemerahan dan kebiruan mengindikasikan lokasi abses berisi pus
Jika diduga mastitis, intervensi dini dapat mencegah perburukan. Intervensi meliputi beberapa tindakan higiene dan kenyamanan:
1.      BH yang cukup menyangga tetapi tidak ketat
2.      Perhatian yang cermat saat mencuci tangan dan perawatan payudara
3.      Kompres hangat pada area yang terkena
4.      Masase area saat menyusui untuk memfasilitasi aliran air susu
5.      Peningkatan asupan cairan
6.      Istirahat
7.      Membantu ibu menentukan prioritas untuk mengurangi stres dan keletihan dalam kehidupannya
8.      Suportif, pemeliharan perawatan ibu
Baik sebaiknya terus menyusu, dan jika menyusui tidak dimungkinkan karena nyeri payudara atau penolakan bayi pada payudara yang terinfeksi, pemompaan teratur harus terus dilakukan. Pengosongan payudara dengan sering akan mencegah statis air susu.
Terapi antibiotik dapat meliputi penisilin resistan-penisilinase atau sefalosporin. Eritromisin mungkin digunakan jika wanita alergi terhadap penisilin. Terapi awal yang paling umum adalah dikloksasilin 500 mg per oral 4x sehari untuk 10 hari. Regimen ini dapat diterapkan pada tanda mastitis meskipun tempat praktik tidak buka – contohnya, pada hari minggu atau pada malam hari. Pada setiap kasus, penting dilakukan untuk tindak lanjut dalam 72 jam untuk mengevaluasi kemajuan. Jika infeksi tidak hilang, kultur air susu harus dilakukan.
Jika ibu adalah salah satu dari sekitar 10% wanita yang mengalami abses, bidan perlu melibatkan dokter konsultan untuk melakukan aspirasi dengan jarum (abses kecil) atau insisi abses dan drainase pus. Insisi dibiarkan terbuka, sering kali dengan drain sehingga tidak menahan bakteri di dalam. Penyembuhan terjadi dari dalam ke luar dan memakan waktu satu hingga dua minggu. Antibiotik sebaiknya dilanjutkan meskipun wanita akan mengalami penyembuhan secara dramatis dalam beberapa hari.
Ibu, bidan, dan dokter sebaiknya menyetujui rencana menyusui. Secara umum dapat dikatakan, apabila insisi tidak pada jalur menyusui, menyusui dapat dilanjutkan pada kedua payudara dan ini merupakan cara terbaik untuk melakukan pengosongan payudara yang terkena dan menghindari terulangnya masalah. Sangat bermanfaat untuk mengingat bahwa bakteri dalam air susu akan dibunuh oleh asam dalam salulran gastrointestinal bayi dan tidak akan membahayakn bayi [2]. Apabila secara fisik tidak memmungkinkan bagi ibu untuk melanjutkan menyusui pada payudara yang terkena, payudara tersebut harus dikosongkan dengan memompa dan masase, dan ibu harus melanjutkan menyusui pada payudara yang lain. Keterlibatan konsultan laktasi yang berpengalaman menangani mastitis akan sangat bermanfaat.
Infeksi jamur pada payudara dapat terjadi jika bayi mengalami sariawan, atau jika ibu mengalami infeksi jamur vagina persisten. Jika puting susu cedera, atau jika ibu memnggunaka antibiotik yang mempengaruhi flora normal kulit, jamur payudara cenderung terjadi [3, 4]. Infeksi ini dapat diidentifikasikan dengan awitan akut nyeri tajam, menusuk pada puting susu jika bayi menyusu. Beberapa tanda-tanda objektif lain tampak. Penanganan diberikan pada ibu dan bayi, meskipun anak tidak menunjukkan gejala sariawan. Nystatin adalah terapi yang biasanya diberikan pertama. Mencuci tangan, menangani bayi pada saat yang sama dengan ibunya, dan perawatan payudara secara cermat dengan menghindari menyentuh kedua puting susu, tanpa mencuci tangan sebelumnya, dan mengganti tampon payudara secara sering akan menurunkan resiko penyebaran infeksi dari satu puting susu ke puting susu lainnya.                                                                                   (varney,2006)
4.    Peritonitis
-  Lakukan nasogastric suction
-  Berikan infuse (NaCl atau Ringer Laktat)
-  Berikan antibiotika sehingga bebas panas selama 24 jam :
o  Ampisilin 2 gr IV, kemudian 1 gr setiap 6 jam ditambah gentamicin 5 mg/kg berat badan IV dosis tunggal/hari dan metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam.
-  Laparatomi diperlukan untuk pembersihan perut (peritoneal lavage).    (Saifudin, 2006 : 264)
5.      Endometritis                      
Tanda dan gejala endometritis sebagai beikut:
1.      Peningkatan demam secara persisten hingga 400C bergantung pada keparahan infeksi
2.      Takikardia
3.      Menggigil dengan infeksi berat
4.      Nyeri tekan uteri menyebar secara lateral
5.      Nyeri panggul dengan pemeriksaan bimanual
6.      Subinvolusi
7.      Lokia sedikit, tidak berbau, atau berbau tidak sedap, lokia seropurulenta
8.      Variable awitan bergantung opada organisme, dengan streptokokus Grup B muncul lebih awal
9.      Hitung sel darah putih mungkin meningkat di luar leukositosis puerperium fisiologis

Penanganan dengan obat anti mikroba spektrum-luas termasuk sefalosporin (mis., cefoxitin, cefotetan) dan penisilin spektrum-luas, atau inhibitor kombinasi penisilin/betalaktamasae (Augmentin, Unasyn). Kombinasi klindamisin dan gentamisin juga dapat digunakan, seperti metronidazol jika ibu tidak menyusui. Endometritis ringan dapat ditangani dengan terapi oral meskipun infeksi meskipun infeksi lebih serius memerlukan hospitalisasi untuk terapi intravena.
Penyebaran endometritis, jika tidak ditangani, dapat menyebabkan salpingiti, tromboflebitis septik, peritonisis, dan fasilitas nekrotikans. Setiap dugaan adanya infeksi memburuk, gejala yang tidak dapat dijelaskan, atau nyeri akut memerlukan konsultasi dokter dan rujukan.
6.    Infeksi luka perineal dan luka abdominal
Disebabkan oleh keadaan yang kurang bersih dan tindakan pencegahan infeksi yang kurang baik.
-  Bedakan antara wound abcess, wound seroma, wound hematoma, dan             wound cellulitis.
o  Wound abcess, wound seroma, dan wound hematoma atau pengerasan yang tidak biasa dengan mengeluarkan cairan serous atau kemerahan dan tidak ada atau sedikit erithema sekitar luka insisi
o  Wound cellulitis didapatkan eritema dan oedema meluas mulai dari tempat insisi dan melebar.
-  Bila didapat pus dan cairan pada luka, buka dan lakukan pengeluaran
-  Ahitan yang terinfeksi dihilangkan dan lakukan debridement
-  Bila infeksi sedikit tidak perlu antibiotika
-  Bila infeksi relative superficial, berikan ampisilin 500 mg peroral           setiap 6 jam dan metrodidazol 500 mg peroral 3 kali/hari selama 5     hari.
-  Bila infeksi dalam dan melibatkan otot dan menyebabkan nekrosis,      berikan penisilin G 2 juta U IV setiap 4 jam (atau ampisilin injeksi 1   gr 4 kali/ hari) ditambah dengan gentamisin 5 mg/ kg berat badan        perhari IV sekali ditambah dengan metronidazol 500 mg IV setiap 8    jam, sampai bebas panas selama 24 jam. Bila ada jaringan nekrotik      harus dibuang. Lakukan jahitan sekunder 2-4 minggu setelah infeksi        membaik.
-  Berikan nasehat kebersihan dan pemekaian pembalut yang bersih dan   sering diganti. (Saifudin, 2006 : 264)

7.    Tromboflebitis :
a.    Pelviotromboflebitis
-  adalah infeksi nifas yang mengenai vena-vena dinding uterus dan ligamentum latum.
-  Etiologi : disebabkan oleh kurangnya gizi atau mal nutrisi, anemia, kurang personal hygiene, trauma jalan lahir seperti partus lama atau macet dan pemeriksaan dalam yang berlebihan.
-  Gejala :
1)   Nyeri perut bagiab\n bawah atau perut bagian samping, pada hari ke 2 - 3 masa nifas tanpa panas.
2)   Menggil berulang kali. Menggigil inisial terjadi sangat berat ( 30-40 menit ) dengan interval hanya beberapa jam saja kadang-kadang 3 hari
3)   Suhu badan naik turun secaratajam ( 36 c menjadi 40 c ) yang diikuti dengan penurunan suhu dalam waktu 1 jam.
4)   Berlansung selama 1- 3 bulan
5)   Cenderung berbentuk pus, yang menjalar kemana-mana terutama keparu-paru

-  Komplikasi
1)   komplikasi pada paru-paru : infark, abses, pneumonia
2)   Komplikasi pada ginjal : sinistra, nyeri mendadak yang diikuti dengan proteinuria dan hematuria.
3)   Komplikasi pada persendiandan jaringan subkutan.
-  Penanganan :
1)    rwat inap
2)   terapi medik
3)   terapi operatif

b.   Tromboflebitis femoralis
-  adalah infeksi nifas yang mengenai vena-vena pada tungkai, misalnya vena femoralis,vena poplitea dan vena safvena.
-  Penanganan
1)   Perawatan, yaitu kaki ditinggikan dan kompres kaki. setelah mobilisasi kaki hendaknya tetap dibalut elastik atau memakai kaos kaki panjang yang elastis selama mungkin.
2)   mengingat kondisi ibu yang sangat jelek, sebaiknya jangan menyusui.
3)   Terapi medik : pemberian antibiotika dan analgetika.
(Iskandar, 2010)
c.    Flegmasia Alba Dolens
Flegmasia alba dolens merupakan salah satu bentuk infeksi puerperalis yang mengenai pembuluh darah vena femoralis. Vena femoralis yang terinfeksi dan sisertai pembentuka trombosis ddapat menimbulkan gejala klinis sebagai berikut:
a.       Terjadi pembengkakan pada tungkai
b.      Vena tampak berwarna putih
c.       Terasa sangat nyeri
d.      Tampak bendungan pembuluh darah
e.       Suhu tubuh meningkat.
Infeksi venafemoralis jarang dijumpai dengan predisposisi pada penderita usia lanjut, multiparitas, dan persalinan dengan tindakan operasi. Bila bidan berhadapan dengan keadaan demikan sebaiknya berkonsultasi dengan dokter sehingga mendapatkan pengobatan yang tepat dan adakuat.

C.      TROMBOEMBOLI
Tromboflebitis pascapartumlebih umum terjadi pada wanita penderita varikositis atau yang mungkin secara genetik rentan tentang relaksasi dinding vena dan statis vena. Kehamilan mnyebabkan statis vena dengan sifat relaksasi dinding vena akibat efek progesteron dan tekanan pada vela oleh uterus. Kehamilan juga merupakan status hiperkoagulabel. Kompresi vena selama posisi persalinan atau pelahiran juga dapat berperan terhadap masalah ini. Tromboflebitis digambarkan sebagai superfisial atau, bergantung pada vena apa yang terkena.
Tromboflebitis superfisial ditandai dengan nyeri tungkai, hangat terlokalisasi, nyeri tekan, atau inflamasi pada sisi tersebut, dan palpasi adanya simpulan atau teraba pembuluh darah. Tromboflebitis vena profunda ditandai dengan tanda dan gejala berikut:
1.      Kemungkinan peningkatan suhu ringan
2.      Takikardia ringan
3.      Awitan tiba-tiba nyeri sangat berat pada tungkai diperburuk dengan pergerakan atau saat berdiri
4.      Edema pergelangan kaki, tungkai, dan paha
5.      Tanda Homan positif
6.      Nyeri saat penekanan betis
7.      Nyeri tekan sepanjang aliran pembuluh darah yang terkena dengan pembuluh darah dapat teraba

Tanda Homans diperiksa dengan menempatkan suhu tangan di lutut ibu dan memberikan penekanan ringan untuk menjaga kaki tetap lurus. Jika terdapat nyeri betis saat dorsifleksi kaki, tanda ini positif.
Penanganan meliputi tirah baring, elevasi ektremitas yang terkena, kompres panas, stoking elastis, dan analgesia yang dibutuhkan. Sprei ayun mungkin diperlukan jika tungkai sangat nyeri saat disentuh (cenderung pada tromboflebitis superfisial). Rujukan ke dokter konsultan penting untuk memutukan penggunaan terapi antikoagulan dan antibiotik (cenderung pada tromboflebitis vena profunda). Tidak ada kondisi apa pun yang mengharuskan masase tungkai.
Risiko terbesar yang berkaitan dengan tromboflebitis adalah emboli paru, terutama sekali pada tromboflebitis vena profunda dan kecil kemungkinannya terjadi tromboflebitis superfisial. Awitan tiba-tiba takipena, dispena, dan nyeri dada tajam adalah gejala yang paling umum. Banyak gejala lain yang kurang spesifik mungkin muncul, dan meliputi perubahan suara paru atau bunyi jantung dan kecenderungan terjadinya penurunan kadar oksigen darah wanita. Awitan tiba-tiba gejala pertama mengharuskan evaluasi dokter segera pada wanita.

D.    HEMATOMA
Hematoma adalah pembengkakan jaringan yang berisi darah. Bahaya hematoma adalah kehilangan sejumlah darah karena hemoragi, anemia, dan infeksi. Hematoma terjadi karena ruptur pembuluh darah spontan atau akibat trauma. Pada siklus reproduktif, hematoma sering kali terjadi selama proses melahirkan atau segera setelahnya, seperti hematoma vulva, vagina, atau hematoma ligamentum latum uteri. Kemungkinan penyebab termasuk sebagai berikut:
1.      Pelahiran operatif
2.      Laserasi robekan pembuluh darah yang tidak dijahit selama injeksi anestesia lokal atau pudendus, atau selama penjahitan episioyomi atau laserasi
3.      Kegagalan hemostatis lengkap sebelum penjahitan laserasi atau episiotomi
4.      Pembuluh darah di atas apeks insisi atau  laserasi tidak dibendung, atau kegagalan melakukan jahitan pada titik tersebut
5.      Penanganan kasar pada jaringan vagina kapan pun atau pada uterus selama masase
Tanda-tanda umum hematoma adalah nyeri ekstrem di luar proporsi ketidaknyamanan dan nyeri yang diperkirakan. Tanda dan gejala lain hematoma vulva atau vagina adalah sebagai berikut:
1.      Penekanan perineum, vagina, uretra, kandung kemih, atau rektum dan nyeri hebat
2.      Pembengkakan yang tegang dan berdenyut
3.      Perubahan warna jaringan kebiruan atau biru kehitaman
Hematoma vulva adalah yang paling jelas, bdan hematoma vagina pada umumnya dapat diidentifikasi jika dilakukan inspeksi vagina dan serviks dengan cermat. Hematoma ukuran-kecil dan sedang mungkin dapat secara spontan diabsorpsi. Jika hematoma terus membesar, bukan menjadi stabil, bidan harus memberitahukan dokter konsultan untuk evauasi dan perawatan lebih lanjut, yang dapat meliputi pemantauan perdarahan terus-menerus dengan melakukan pemeriksaan laboratorium hemaktokrit, insisi untuk mengevaluasi darah dan bekuan darah serta penutupan rongga, dam perlunya intervensi pembedahan lain, penggantian darah, atau antibiotik. Bidan terus menerapkan penatalaksanaan terhadap aspek lain perjalanan pascapartum dan penyesuaian ibu.
Tanda dan gejala hematoma ligamentum latum uteri meliputi sebagai berikut:
1.      Nyeri uteri lateral sensitif terhada palpasi
2.      Penyebaran nyeri ke panggul
3.      Pembengkakan yang sangat nyeri diidentifikasipada pemerikasaan rektum tinggi
4.      Penonjolan jaringan tepat di atas pintu atas panggul, menyebar ke arah lateral (ini adalah ujung ligamnetum latum uteri yang membengkak)
5.      Distensi abdomen
Jika diduga terjadi hematoma ligamentum latum uteri, penting untuk mengkonsultasikannya dengan dokter.                                                     (varney, 2006)
E.  MASALAH PSIKIATRI PASCA PERSALINAN
Beberapa penyesuaian dibutuhkan oleh wanita untuk melakukan aktivitas dan peran barunya sebagai seorang ibu pada minggu-minggu atau bulan-bulan pertama setelah melahirkan, baik segi fisik maupun segi psikologis. Sebagaian wanita berhasil menyesuaikan diri dengan baik, tetapi sebagian yang lainnya tidak berhasil menyesuaikan diri dengan baik bahkan mengalami gangguan-gangguan psikologis, antara lain sebagai berikut :
1.         Postpartum Blues (Baby Blues)
a.     Pengertian Postpartum Blues
      Postpartum blues menurut Ambarwati (2009) adalah perasaan sedih yang dialami oleh ibu setelah melahirkan. Hal ini berkaitan dengan bayinya. Menurut Cuningham (2006), postpartum blues adalah gangguan suasana hati yang berlangsung selama 3-6 hari pasca melahirkan. Postpartum blues sering disebut juga dengan maternity blues atau baby syndrome, yaitu kondisi yang sering terjadi dalam 14 hari pertama setelah melahirkan, dan cenderung lebih buruk pada hari ketiga dan keempat (Suririnah, 2008)
      Berdasarkan pengertian dari beberapa sumber tersebut maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan postpartum blues adalah suasana hati yang dirasakan oleh wanita setelah melahirkan yang berlangsung selama 3-6 hari dalam 14 hari pertama pasca melahhirkan, dimana perasaan ini berkaitan dengan bayinya.
b.     Gejala Postpartum Blues menurut Ambarwati (2009)
1)      menangis
2)      mengalami perubahan perasaan
3)      cemas
4)      khawatir mngenal sang bayi
5)      kesepian
6)      penurunan gairah seksual
7)      kurang percaya diri terhadap kemampuannya menjadi seorang ibu
c.   Penyebab Postpartum Blues
1)      Faktor hormonal, berupa perubahan kadar estrogen, progesterone, prolaktin, dan estriol yang terlalu rendah atau terlalu tinggi. Kadar estrogen turun secara bermakna setelah melahirkan. Ternyata estrogen memiliki efek supresi terhadap aktivitas enzim monoamine oksidase, yaitu suatu enzim otak yang bekerja mengaktivasi, baik noradrenalin maupun serotonin yang berperan dalam suasana hati dan kejadian depresi.
2)      Factor demografik, yaitu umur dan paritas. Umur yang terlalu muda untuk melahirkan, sehingga dia memikirkan tanggungjawabnya sebagai seorang ibu untuk mnegurus anaknya. Sedangkan postpartum blues banyak terjadi pada ibu primipara, mengingat dia baru memasuki perannya sebagai seorang ibu, tetapi tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada ibu yang pernah melahirkan, yaitu jika mempunyai riwayat postpartum blues sebelumnya.
3)      Pengalaman dalam proses kehamilan dan persalinan. Kesulitan-kesulitan yang dialami ibu selama kehamilannya akan turut memperburuk kondisi ibu pascamelahirkan. Sedangkan pada persalinan, hal-hal yang tidak menyenangkan bagi ibu mencakup lamanya persalinan serta intervensi medis yang digunakan selama proses persalinan, seperti ibu yang melahirkan dengan cara operasi sesar (section caesarea) akan dapat menimbulkan perasaan takut terhadap peralatan operasi dan jarum. Ada dugaan bahwa semakin besar trauma fisik yang terjadi selama proses persalinan, akan semakin besar pula trauma psikis yang muncul.
4)      Latar belakang psikososial wanita yang bersangkutan, seperti tingkat pendidikan, status perkawinan, kehamilan yang tidak diinginkan, riwayat gangguan kejiwaan sebelumnya, status social ekonomi, serta keadekuatan dukungan social dari lingkungannya (suami, keluarga, dan teman). Apakah suami juga menginginkan kehamilan ini? Apakah suami, keluarga, dan teman member dukungan moril (misalnya dengan membantu dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga atau berperan sebagai tempat ibu mengadu/ berkeluh kesah) selama ibu menjalani masa kehamilannya?
5)      Fisik. Kelelahan fisik karena aktivitas mengasuh bayi, menyusui, memandikan, mengganti popok, dan menimang sepanjang hari bahkan tak jarang dimalam buta sangatlah menguras tenaga. Apalagi jika tidak ada bantuan dari suami anggota keluarga lain.
d.  Penatalaksanaan Postpartum Blues
tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi postpartum blues pada ibu adalah :
1)         Dengan meminta bantuan suami atau keluarga jika ibu          membutuhkan istirahat untuk menghilangkan kelelahan;
2)         Beritahu suami mengenai apa yang sedang ibu rasakan. Mintalah     dukungan dan pertolongannya;
3)         Buang rasa cemas dan kekhawatiran ibu akan kemampuan merawat             bayi;
4)         Carilah hiburan dan luangkan waktu untuk diri sendiri.
(Herawati Mansur, 2009 : 155-157)
2.      Depresi Postpartum
a.       Pengertian depresi postpartum
      Depresi postpartum hamper sama dengan baby blues syndrome, perbedaan keduanya terletak pada frekuensi, intensitas, serta durasi berlangsungnya gejala-gejala yang timbul. Pada postpartum depression, ibu akan merasakan berbagai gejala yang ada pada baby blues syndrome, tetapi pada intensitas yang lebih sering, lebih hebat serta lebih lama.
      Depresi postpartum dialami seorang ibu paling lambat 8 minggu setelah melahirkan, dan dalam kasus yang lebih parah, bisa berlanjut selama setahun. Wanita yang menderita            postpartum depression mempunyai kesulitan untuk menjalin ikatan batin dengan buah hati yang baru dilahirkannya, sehingga ia pun membutuhkan terapi pengobatan dari seorang ahli kejiwaan atau psikiater, dengan dukungan orang-orang terdekat.
b.      Gejala depresi postpartum
Gejala-gejala yang timbul pada depresi postpartum adalah sebagai berikut :
1)        Dipenuhi rasa sedih dan depresi yang disertai dengan menangis tanpa sebab
2)        Tidak memiliki tenaga atau hanya sedikit saja
3)        Tidak dapat berkonsentrasi
4)        Ada perasaan bersalah dan tidak berharga
5)        Menjadi tidak tertarik dengan bayi atau terlalu memperhatikan dan mengkhawatirkan bayinya.
6)        Gangguan nafsu makan
7)        Ada perasaan takut untuk menyakiti diri sendiri dan bayinya
8)        Gangguan tidur

c.       Penyebab depresi postpartum
Pada intinya penyebab depresi postpartum sama dengan penyebab postpartum blues, yang membedakan hanyalah karakteristik wanita yang berisiko mengalami depresi postpartum. Berikut adalah karakteristik yang dimaksud :
1)        Wanita yang mempunyai riwayat depresi
2)        Wanita yang berasal dari keluarga yang kurang harmonis
3)        Wanita yang kurang mendapatkan dukungan dari suami atau orang-orang terdekatnya selama hamil dan setelah melahirkan
4)        Wanita yang jarang berkonsultasi dengan dokter selama masa kehamilannya, misalnya kurang informasi dan komunikasi
5)        Wanita yang mengalami komplikasi selama kehamilan
d.      Penatalaksanaan depresi postpartum
1)        Screening test, di luar negeri seperti di belanda digunakan Endinburgh Postnatal Deppresion Scale (EPDS) yang merupakan kuisioner dengan valliditas teruji kyang mampu mengukur intensitas perubahan perasaan depresi selama 7 hari pascasalin. Pertanyaan-pertanyaannya berhubungan dengan labilitas perasaan, kecemasan, perasaan bersalah, serta mencakup hal-hal lain yang terdapat pada postpartum blues.
2)        Dukungan psikologis dari suami dan keluarga serta bidan atau petugas kesehatan lainnya.
3)        Istirahat yang cukup untuk mencegah dan mengurangi perubahan perasaan.
4)        Dukungan dari tenaga kesehatan, seperti dokter obstetri dan bidan/ perawat sangat diperlukan, misalnya dengan cara memberikan informasi yang memadai/ adekuat tentang proses kehamilan dan persalinan, termasuk penyulit-penyulit yang mungkin timbul pada masa-masa tersebut beserta penanganannya.
5)        Diperlukan dukungan psikolog atau konselor jika keadaan ibu tampak sangat mengganggu. Dukungan bisa diberikan melalui keprihatinan dan perhatian pada ibu. Selain itu ibu dapat mencari psikiater, psikolog atau ahli kesehatan mental lainnya untuk melakukan konseling agar dapat menemukan cara dalam menanggulangi dan memecahkan masalah serta menetapkan tujuan realistis.
(Herawati Mansur, 2009 : 157-159)
3.      Postpartum psikosis/ postpartum kejiwaan
a.    Pengertian postpartum psikosis
        Postpartum psikosis adalah masalah kejiwaan serius yang dialami ibu selepas bersalin dan ditandai dengan agitasi yang hebat, pergantian perasaan yang cepat, depresi, dan delusi. Wanita yang mengalami postpartum psikosis membutuhkan perawatan segera dan pengobatan dari psikiater. Pada tahap awal penyakitnya dan untuk meredakan gejala sering kali ibu dengan postpartum psikosis harus dirawat inap di rumah sakit.. (Herawati Mansur, 2009 : 159)
        Psikosis puerperium/ postpartum psikosis merupakan bentuk morbiditas psikiatrik yang paling berat. Kondisi ini merupakan kondisi psikologis pascanatal yang lebih jarang terjadi tetapi studi berbeda melaporkan berbagai tingkat insidens dari 1 : 500 sampai 1 : 1500. Awitan kondisi ini biasanya mendadak dan dramatis dan biasanya terjadi sangat dini, dalam minggu pertama, sebagian besar mengalami kondisi ini sebelum hari keenam belas setelah melahirkan.
        Sekitar 25% wanita yang masuk ke rumah sakit karena masalah psikosis puerperium dalam 3 bulan setelah melahirkan telah mendapat konsultasi tentang gejala psikologi dalam kehamilan; 50% telah mengalami gejala ansietas atau depresi dalam kehamilan; 50% telah mengalami episode psikosis non puerperium dan atau riwayat keluarga menderita penyakit mental. (Janet Medforth, dkk., 2012 : 490-491)
b.    Gejala postpartum psikosis
1)        Perasaan yang diperintahkan oleh Tuhan atau kekuatan di luar diri untuk melakukan hal-hal yang tidak biasa dilakukan, seperti merugikan diri atau bayi.
2)        Perasaan kebingungan yang intens
3)        Melihat atau mendengar hal-hal lain yang tidak nyata
4)        Perubahan mood atau tenaga yang ekstreem
5)        Ketidakmampuan untuk merawat bayi
6)        Memory lapses (periode kebingungan yang serupa dengan amnesia
7)        Serangan kegelisahan yang tidak terkendali
8)        Pembicaraannya tidak dapat dipahami atau mengalami gangguan komunikasi
c.    Penyebab postpartum psikosis
     Para ahli tidak benar-benar yakin mengapa postpartum kejiwaan terjadi. Namun, mereka menawarkan berbagai penjelasan mengenai terjadinya disorder, dengan perubahan hormon. Alasan lain yang dapat dikemukakan atau faktor yang turut berkontribusi termasuk kurangnya dukungan sosial dan emosional, rasa rendah diri karena perempuan postpartum memiliki rasa kurang memadai sebagai seorang ibu, merasa terpencil dan sendiri, mengalami masalah keuangan, serta terjadi perubahan yang besar dalam kehidupan, seperti pindah rumah atau memulai pekerjaan baru.
d.   Penatalaksanaan Postpartum Psikosis
        Postpartum kejiwaan dianggap menjadi darurat kesehatan mental. Oleh karena itu memerlukan perhatian segera. Hal ini dikarenakan wanita yang menderita penyakit kejiwaan tidak selalu mampu atau bersedia untuk berbicara dengan seseorang tentang disordernya, mereka kadang-kadang membutuhkan pasangan atau anggota keliarga yang lain untuk membantu mereka mendapatkan penanganan medis yang mereka butuhkan. Kondisi ini biasanya diatasi dengan pemberian obat, biasanya obat antipsikosis dan terkadang anti depresan dan atau antiancietas. Banyak wanita yang juga dapat merasakan manfaat dari konseling dan dukungan psikologis kelompok. Dengan perawatan dengan baik, sebagaian besar perempuan dapat pulih dari kekacauan. (Herawati Mansur, 2009 : 160)
        Harus ada rujukan segera ke tim kesehatan jiwa karena kondisi biasanya akan memerlukan perawatan ke rumah sakit. Prognosis baik, tetapi terdapat resiko tinggi berulangnya kejadian dalam kehamilan berikutnya. (Janed Merfoth, dkk., 2012 : 491)
        Pendapat lain menjelaskan mengenai penatalaksanaan postpartum psikosa, diantaranya :
1)   Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang psikotik akut berikut hak dan kewajibannya. Episode akut sering mempunyai prognosis yang baik, tetapi lama perjalanan penyakit sukar diramalkan hanya dengan melihat dari satu episode akut saja. Agitasi yang membahayakan pasien, keluarga atau masyarakat, memerlukan hospitalisasi atau pengawasan ketat di suatu tempat yang aman. Jika pasien menolak pengobatan, mungkin diperlukan tindakan dengan bantuan perawat kesehatan jiwa masyarakat dan perangkat desa serta keamanan setempat
2)   Menjaga keamanan pasien dan individu yang merawatnya, diantaranya :
a)    Keluarga atau teman harus mendampingi pasien
b)   Kebutuhan dasar pasien terpenuhi (misalnya, makan, minum, eliminasi dan kebersihan)
c)    Hati-hati agar pasien tidak mengalami cedera
3)   Konseling pasien dan keluarga, diantaranya :
a)    Bantu keluarga mengenal aspek hukum yang berkaitan dengan pengobatan psikiatrik antara lain : hak pasien, kewajiban dan tanggung jawab keluarga dalam pengobatan pasien
b)   Dampingi pasien dan keluarga untuk mengurangi stress dan kontak dengan stresor
c)    Motivasi pasien agar melakukan aktivitas sehari-hari setelah gejala membaik
        Sedangkan program pengobatan untuk psikotik akut ialah berikan obat antipsikotik untuk mengurangi gejala psikotik :
1)   Haloperidol 2-5 mg, 1 sampai 3 kali sehari, atau Chlorpromazine 100-200 mg, 1 sampai 3 kali sehari.  Dosis harus diberikan serendah mungkin untuk mengurangi efek samping, walaupun beberapa pasien mungkin memerlukan dosis yang lebih tinggi.
2)   Obat antiansietas juga bisa digunakan bersama dengan neuroleptika untuk mengendalikan agitasi akut (misalnya: lorazepam 1-2 mg, 1 sampai 3 kali sehari)
3)   Lanjutkan obat antipsikotik selama sekurang-kurangnya 3 bulan sesudah gejala hilang.
        Apabila ditemukan pasien gangguan jiwa di rumah dengan perilaku di bawah ini, lakukan kolaborasi dengan tim untuk mengatasinya. Diantaranya :
1)   Kekakuan otot (Distonia atau spasme akut), bisa ditanggulangi dengan suntikan benzodiazepine atau obat antiparkinson
2)   Kegelisahan motorik berat (Akatisia), bisa ditanggulangi dengan pengurangan dosis terapi atau pemberian beta-bloker
3)   Gejala parkinson (tremor/gemetar, akinesia), bisa ditanggulangi dengan obat antiparkinson oral (misalnya, trihexyphenidil 2 mg 3 kali sehari)
        Dan Tindakan rujukan diperlukan bila terjadi kondisi-kondisi yang tidak dapat diatasi melalui tindakan yang sudah dilakukan sebelumnya khususnya pada :
1) Kasus baru gangguan psikotik
2)   Kasus dengan efek samping motorik yang berat atau timbulnya demam, kekakuan, hipertensi, hentikan obat antipsikotik lalu rujuk



DAFTAR PUSTAKA

Baihatus. 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Nifas Normal. Jakarta: EGC.
Manuaba, Ida Bagus Gde.2010.Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan KB Untuk pendidikan Bidan.Jakarta:EGC
Mansur, Herawati. 2009. Psikologi Ibu dan Anak untuk Kebidanan. Jakarta : Salemba Medika.
Medforth, Janet, dkk. 2012. Kebidanan Oxford. Jakarta : EGC.
Prawirohardjo, Sarwono, 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT. Bina Pustaka.
Saifudin, Abdul Bari. 2006. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : YBPSP.
Wiknjosastro. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta : YBPSP.

Varney,Helen.2006.Buku Ajar Asuhan Kebidanan Volume 2.Jakarta:EGC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar